Sabtu, 09 November 2013

Tak Ada Salahnya Melepaskan Mimpi

Dari kecil, kita dibiasakan untuk memiliki mimpi. Coba aja ingat sewaktu masih TK, kita sering ditanya, "Kalau udah besar mau jadi apa?" dan kita akan menjawab mau menjadi dokter/insinyur/pilot/apa pun lah yang kita inginkan. Nah, di situ pertama kali mimpi kita bermula. Selanjutnya, semakin kita bertambah usia,  semakin kita tahu banyak hal, mimpi kita menjadi semakin tinggi, lebih realistis dan pastinya lebih kompleks.
Namun kadang kita sampai di suatu titik tidak terhindarkan di mana kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kita harus mengevaluasi dan mengambil keputusan yang akan berdampak pada seluruh sisa hidup kita ke depan. Misalnya menentukan jurusan kuliah, memutuskan untuk menandatangani kontrak dengan sebuah perusahaan, memulai atau mengakhiri sebuah hubungan, atau apa pun yang membuat kita harus berpikir lebih dalam karena dampaknya akan sangat besar.

Begitu pun saat mengevaluasi ulang mimpi yang ingin kita capai dalam hidup. Kita telah terbiasa dengan pemikiran bahwa dalam upaya menggapai mimpi, winners never quit and quitters never win. Apa pun yang terjadi, jangan pernah menyerah mengejar mimpi. Jarang sekali ada yang berkata pada kita bahwa ada mimpi yang nggak bisa dicapai. Semua orang menanamkan prinsip jika kita bekerja keras, kita bisa mencapai apa pun yang diinginkan. Itu belum ditambah dengan kisah motivasi dari orang sukses yang membanjiri hidup kita setiap hari.

Tapi apa iya harus seperti itu? Mungkin kalimat motivasi tersebut tepat diberikan pada saat kita masih muda. Masih idealis, punya banyak energi untuk menggapai mimpi dan cita-cita. Namun semakin bertambah usia, semakin banyak realitas yang kita hadapi, kita menjadi semakin sadar: ada hal-hal yang memang tidak mungkin dikejar terus-menerus.

Terutama apabila berkaitan dengan materi (oke, uang maksudnya) yang kita butuhkan untuk bertahan hidup.

Orang mungkin menemukan passion berdasarkan bakat dan kemampuan pada usia yang masih muda. Karena kita menyukai satu hal, sejak saat itu kita pun berusaha keras untuk mewujudkannya. Hal ini bisa dilakukan selama bertahun-tahun—bisa berhasil dengan sukses, namun nggak sedikit yang hanya sampai tahap ‘masih mencoba’.

Jadi menurut saya, bukanlah sebuah hal yang pesimistis dan merendahkan apabila kita mengevaluasi jalan yang kita ambil dan lalu berubah pikiran akan hal tersebut. Karena ada perbedaan jauh antara mencintai suatu hal (passion kita) dan menjadikannya cukup/layak untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mungkin saja orang-orang terdekat kita nggak mengingatkan karena mereka masih percaya bahwa suatu hari nanti mimpi kita akan tercapai—atau mungkin mereka sudah berkali-kali mengingatkan namun kita yang memang nggak mau mendengar, nggak mau berpikir lebih dalam, dan nggak mau move on dari mimpi tersebut? Karena kadang ada mimpi yang terlalu sulit untuk diwujudkan di dalam kenyataan.

Kalau boleh memberikan contoh, sejujurnya saya nggak pernah berpikir bahwa saya akan berada dalam posisi saya sekarang. Saya sangat menyukai menulis dan berharap menulis dapat menjadi mimpi yang mendukung hidup saya. Seperti orang menjadi musisi terkenal. Dari hobi menjadi pekerjaan, sehingga saya bisa menghasilkan uang dari hobi tersebut. It’s perfect.

Namun selepas kuliah, saya menemukan bahwa jalan menuju kesana sangat berbatu dan sulit. Iya, saya sudah menerbitkan buku dan bisa menulis—tapi apa iya saya akan merasa nyaman menggantungkan hidup saya dari pekerjaan tersebut? Jawabannya mungkin tergantung latar belakang, pola pemikiran, dan pengalaman masing-masing orang. Ada orang yang merasa bahwa itu bisa, tapi untuk kasus saya, saya nggak merasa nyaman akan hal tersebut.

Dan inilah saya sekarang: menjadi bankir yang bekerja lebih dari delapan jam sehari dan mendapatkan gaji setiap tanggal 25. Menulis hanya sebagai hobi yang saya lakukan di sela-sela waktu luang. Kadang merasa nggak cukup—tapi mungkin ini yang harus saya korbankan.

Point saya bukan meminta Anda melepaskan mimpi yang Anda miliki. Tapi, nggak ada salahnya mengevaluasi ulang mimpi Anda—apakah perjalanan kita masih jauh? Apakah kita berada di jalan yang benar?

Perubahan itu, menurut saya, bukanlah sebuah kegagalan. Ibarat kredit macet, kita sedang melakukan restrukturisasi. Hanya saja ini bukan kredit, tapi hidup kita. Membuka babak baru dalam hidup mungkin nggak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi bukan nggak mungkin di dalam babak baru tersebut kita menemukan hal lain yang dapat membawa rasa bahagia yang mirip dengan yang kita rasakan sebelumnya.

Saya setuju bahwa yang namanya mimpi dan passion memang harus dikejar sampai suatu titik tertentu. Namun juga harus disadari kalau mengejar mimpi justru menjadi beban yang sangat besar, mungkin saatnya kita berpikir ulang. Karena nggak ada yang salah dengan berpikir lebih praktis.

Tidak ada komentar: