Rabu, 13 November 2013

Mengeluh Saja Tak Selesaikan Masalah

Mengeluh memang perlu, untuk melepaskan energi dan pikiran negatif supaya kesehatan mental kita tetap terjaga (atau seenggaknya biar nggak jadi jerawat). Tapi siapa sih yang suka punya teman yang bukan hanya sering mengeluh, tapi juga mengeluhkan hal yang sama berulang-ulang dan terus menerus.

Jujur saja, kadang keluhan bisa menjadi ice breaking dalam suatu situasi tertentu. Misalnya, membuka pembicaraan tentang kenapa kereta hari ini datangnya telat dengan orang asing yang berdiri di sebelah kita di kereta commuter. Itu bisa menciptakan perasaan senasib dan siapa tahu membuka jalan menuju pertemanan yang baru. Tapi seringnya bukan jenis keluhan seperti ini yang sering terjadi.

Kita sering mengeluh tentang berbagai macam hal, besar dan kecil. Mulai dari bos yang menyebalkan dan nggak punya hati nurani, asisten rumah tangga yang kerjanya nggak becus, uang sekolah anak yang makin mahal, kemacetan yang nggak berujung, sampai cuaca yang panasnya menyaingi oven yang disetel pada suhu paling panas. Kita berhak kok untuk komplain, mengeluh atau menggerutu. Syukur-syukur ada orang lain yang mau mendengarkan. Tapi satu yang perlu diingat, adalah hak orang lain juga untuk nggak mendengarkan semua keluhan kita.

Saya sering menjadi ‘tempat sampah’ teman/rekan kerja/pasangan/keluarga untuk mengeluh dan sebaliknya, mereka pun sering menjadi tempat saya mengeluh. Tapi saya yakin bahwa sesabar-sabarnya manusia mendengarkan curhat orang lain, pasti akan sampai suatu titik batas di mana saat keluhan yang sama disampaikan terus menerus, kesabaran itu akan habis. Apalagi jika orang yang mengeluh terlihat seperti menginginkan masukan dan saran dari kita, namun kemudian mengabaikannya dan malah meneruskan mengeluh tentang hal yang sama. Lagi dan lagi.

Bukan berarti kita nggak boleh mengeluh, tapi akan lebih baik apabila kita melakukan sesuatu terhadap keluhan tersebut—dan bukan hanya sekadar marah-marah nggak berujung. Misalnya kalau kita mengeluh bahwa salah satu teman kita, setiap janjian selalu saja telat datang. Daripada menggerutu di belakang dan ngomel-ngomel kepada siapa pun yang ada di sekitar kita, apa nggak lebih baik kita mengingatkannya secara langsung? Dengan emosi yang terkendali tentunya.

Pada intinya, saya tahu bahwa dunia tanpa keluhan adalah dunia yang utopis. Banyak orang membuat gerakan seperti ‘tujuh hari tanpa mengeluh’ atau semacamnya, dan saya menghargai bahwa ada orang yang bisa melewatkan hari-harinya (walaupun hanya seminggu) tanpa mengeluh tentang hal apa pun. Saya sendiri mungkin belum bisa seperti itu.

Tapi dunia juga nggak akan menjadi lebih baik kalau kita hanya mengeluh tanpa melakukan hal-hal untuk memperbaikinya, kan? Merasa gaji kurang? Mungkin saatnya kita harus mencari pekerjaan baru atau penghasilan tambahan. Pelayanan di sebuah restoran lama banget? Kasih masukan dengan nada netral tanpa marah-marah supaya si penerima keluhan nggak hanya menangkap marahnya saja. Atau kalau nggak tahan, tinggal pindah ke restoran lain dan jangan datang lagi ke restoran tersebut.

Intinya, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki hal yang kita keluhkan.

Kalaupun kita nggak bisa mengubahnya, mungkin cara pandang kita yang harus diubah. Dunia bisa jadi lebih baik jika kita mengubah pikiran negatif kita dan mencari perspektif yang positif. Jangan lupa untuk tidak menerapkan standar ganda: kita mengeluh tentang hal yang sama terus menerus, tapi ternyata tanpa sadar kita melakukan hal yang kita keluhkan tersebut.

After all, we are human. Dan manusia memang wajar untuk mengeluh. Tapi jangan sampai mengeluh membuat kita lupa bahwa masih banyak hal lain dalam hidup yang harus disyukuri.

Tidak ada komentar: