Dia bukan adik kandungku
Aku termangu mendengarkan
ceritanya. Lilis bercerita tentang ayah ibunya yang telah wafat waktu
dia berumur 2 tahun dan kemudian dia diasuh oleh ibuku. Kukira dia adik
kandungku; makanya aku sering berdebar kalau dia sedang menyandarkan
badannya ke badanku atau dia sedang manja. Tak terasa aku menarik nafas
panjang. Aku sangat menyukainya. Kemana-mana aku yang mengantarnya. Dia
lincah namun sederhana. Apakah setelah kutahu bahwa dia bukan adikku
lantas aku mencintainya? Rasanya tak mungkin, kami sudah seperti kakak
beradik. Mengapa sekarang aku menjadi bingung menghadapinya?
"Kak ...?"
"Ehmm ... ya, ada apa?"
"Semalam aku sempat menyalahkan ortuku,
mengapa wasiatnya ini boleh kubaca setelah lulus SMA? Mengapa juga ibumu
sama sekali tak pernah menceritakan hal ini? Mengapa pula ibumu begitu
baiknya sehingga kukira ibuku sendiri?"
"Kau dapat terus menganggap beliau sebagai ibumu, ibu kita."
"Ya iya sih, kalau tidak, terus aku bagaimana donk?"
Sekarang aku makin tak berani
memandangnya. Dia mulai manja lagi, kutunggu ... sebentar lagi tentu dia
mencubitku dan bersandar kebadanku. Kalau dia melakukannya, aku tak
mungkin lagi mencubit pipinya. Waduh pikiranku kemana saja sih, nafasku
terasa agak sesak. Lho ternyata selama aku merenung, dia memandangku
sambil tersenyum.
"Kak di bawah surat ini ada kalimat yang perlu kau ketahui; bacalah kak."
Aku termangu lagi dan dia mendekatiku
kemudian menyodorkan surat wasiat ortunya. Kuterima surat itu dan kubaca
kalimat yang ditunjuknya. Aku tertegun, sesaat kemudian kertas itu
terlepas dari tanganku, kemudian aku tak sadarkan diri. Setelah aku
siuman, Lilis mendekat dan memberiku minum. Kuminum air itu hingga
habis.
"Kak, rasanya aku tak mungkin menikah denganmu."
"Lis, aku tak mengira kalau kau bukan
adikku, bahkan kita lain ibu lain ayah. Saat ini perasaankupun sama
denganmu, tak mungkin kita menikah."
"Ya kita berkakak adik saja untuk seterusnya."
"Lis, tetapi mengapa ya kalau ada teman
wanita mendekati kakak, kau seperti cemburu? Khususnya pada Ida, mengapa
kau melarang kakak menemuinya atau pergi bersamanya?"
"Ya itu spontanitas saja kak, aku ingin kakak menjadi milikku saja, bukan cemburu."
Kulihat pipinya memerah, ehmm ... bagamana ini.
"Lho suatu saat kakak kan akan menikah,
kau juga. Ehmm Lis, kalau tiba saatnya, kakak akan menikah dengan Ida,
menurutmu bagaimana?"
"Lis ...."
"Ya Kak."
"Kau melamun ya?"
"Ya? Apa kak? Melamun? Ah kakak."
"Apakah kau tadi mendengar pertanyaan kakak?"
"Tak mungkinkah kalau kita berdua terus seperti ini? Aku tak mau kehilangan kakak."
"Kau lucu Lis, ya tak mungkinlah, kecuali ...."
"Kecuali apa kak?"
"Entahlah Lis. Kau tunjukkan saja surat itu ke ibuku."
"Ibumu?"
"Ya ibu kita, jangan ngambek donk."
"Kakak sih menjadi berubah setelah tahu aku bukan saudara kandung."
"Maafkan kakak Lis, tadi itu aku tak sadar."
***
Kisah di atas kuperoleh dari sebuah
catatan yang diberikan Ida kepadaku. Aku mengenalnya, kami teman
seangkot. Hehehe ... maksudku kami sering bertemu di angkot dan sering
bercerita. Dia cantik, sopan santun, luwes, aku menyukainya. Kadang dia
menganggapku sebagai kakak, kadang sebagai ibu. Umurnya sekitar 50
tahun, dia hidup sendiri bersama kucing kesayangannya. Kebanyakan yang
diceritakannya adalah kelucuan kucingnya. Suatu hari dia memberikan
catatan kisah di atas. Katanya kakaknya Lilis datang ke rumahnya,
meminta maaf dan mengatakan mau segera menikah dengan Lilis. Catatan
yang diberikan kepadaku itu tulisan kakaknya Lilis yang diberikan kepada
Ida.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar