"Bismillah..Siti Kewe. Kunikahkan Kau Dengan Angin. Tanah Jadi Saksimu.
Air Jadi Walimu. Hari Jadi Saksi Kalammu". Itulah baris kalimat yang
pernah menjadi bagian dari satu tradisi menanam kopi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat di Dataran Tinggi Gayo. Orang Gayo tempo dulu
mengenal kopi dengan sebutan kewe atau kahwa.
Kalimat itu adalah
mantera. Diucapkan dalam bahasa Gayo, ketika bibit-bibit kopi akan
disemai untuk diharapkan tumbuh sebagai batang-batang yang tangguh.
Sampai ranting-rantingya menghadirkan masa panen, dalam hari-hari yang
penuh dengan pengharapan.
Kalimat itu telah menjadi saksi dari
sebuah sejarah panjang kehidupan masyarakat Gayo yang memamerkan
kedekatan dengan alam. Kopi ditanam berbanjar-banjar, dirawat dengan
teliti, dan menjadi sumber kehidupan.
Kopi menjadi bagian tak
terpisahkan dalam sendi kehidupan masyarakat Gayo sampai sekarang.
Orang-orang Gayo semakin mencintai kopi dari waktu ke waktu.
Sepanjang
tahun 2011-2014, kedai-kedai kopi modern berkembang pesat di
sudut-sudut kota Takengon. Kopi mulai diolah dengan perlakuan khusus
untuk mendapatkan kualitas yang terbaik.
Bercangkir-cangkir kopi
disajikan setiap harinya kepada para penikmat. Fakta itu menunjukkan
adanya perkembangan secara terus menerus di tengah masyarakat Gayo,
tentang bagaimana cara menyajikan dan menikmati segelas kopi yang
bercitarasa tinggi.
Pembicaraan tentang kopi tak pernah ada
habisnya di tengah masyarakat Gayo. Mantera kopi seolah menunjukkan
eksistensinya hingga sekarang. Walau kini keberadaannya telah lenyap
seiring laju perkembangan zaman, dan generasi muda Gayo saat ini, tak
lagi menyadari bahwa mantera itu pernah ada.
Namun di salahsatu
kedai kopi modern di kota Takengon, barisan kalimat mantera kopi masih
dapat dijumpai. Di sudut ruangan kedai berukuran 4 meter persegi, sebuah
kalimat khas berbahasa Gayo terpampang jelas.
Kalimat itu, kerap
menggugah rasa ingin tahu siapa saja yang melihatnya, hingga tergelitik
untuk bertanya. Dan siapapun akan menemukan jawaban bahwa kalimat yang
tertulis itu adalah mantera kopi.
Kedai kopi milik, Win Ruhdi
Bathin, itu memang kental mengusung identitas kebudayaan masyarakat Gayo
yang sejak dulu hingga sekarang sangat mencintai kopi.
Pria yang
dikenal sebagai mantan jurnalis senior di Takengon ini, sengaja membuat
kedai kopi miliknya tidak hanya sekedar menjadi penyaji bagi secangkir
kopi.
Saat mulai membuka kedainya di jalan Yos Sudarso Takengon,
pada awal April 2014, Win Ruhdi telah secara konsisten menggandeng misi
pengenalan kopi Gayo kepada khalayak.
Kedai kecil yang dinamainya
WRB Coffee Shop, ditata sedemikian rupa. Foto-foto tentang kopi dan
budaya Gayo memenuhi ruangan. Ada sejumlah peralatan tradisional
masyarakat Gayo yang dipajang. Dia juga mengumpulkan buku-buku tentang
kopi untuk dibaca oleh siapa saja yang datang.
Melalui kedai
miliknya, Win Ruhdi ingin menunjukkan bahwa kopi bukan sekedar minuman
hangat di pagi hari. Tapi menjadi simbol yang telah merasuki sendi-sendi
tradisi dan kebudayaan di tengah masyarakat Gayo.
Penyair
sekaligus penulis berdarah Gayo, Fikar W Eda, dalam sebuah buku yang
menceritakan sejarah kopi di Gayo, menuliskan bahwa keberadaan mantera
kopi pernah dituturkan oleh seorang petani kopi bernama Mustafarun,
warga Kampung Gele, Kecamatan Wih Ilang, Kabupaten Bener Meriah.
Fikar
juga menuliskan bahwa orang Gayo memiliki sejumlah ungkapan pepatah
yang kerap mengaitkan sesuatu hal dengan kopi. Seperti ungkapan, "Kul ni
buet gere be kupi," yang berarti, "Kerjaan besar begini kok gak ada
kopi".
Ungkapan itu lazim diucapkan orang Gayo sebagai sebuah
candaan ataupun sindiran halus kepada tuan rumah untuk segera
menyediakan hidangan kopi panas dalam sebuah acara kebersamaan.
Dalam
tulisannya Fikar ingin menunjukkan bahwa kopi telah menjadi bagian dari
ekspresi kebudayaan masyarakat Gayo yang dihayati sangat intens.
Berpuluh-puluh
tahun lalu, pohon-pohon kopi tumbuh liar di Gayo. Masyarakat Gayo
klasik menyeduh daun kopi untuk diminum sebagai teh. Di masa itu, kopi
belum menjadi tanaman penting di Gayo, yang saat ini telah dikenal
sebagai komoditas ekspor paling digemari dunia.
Biji-biji kopi
Gayo jenis arabica selalu mendapat tempat istimewa di kalangan para
pecinta kopi. Kualitas dan citarasa yang tinggi dari secangkir kopi Gayo
telah menjadi milik semua orang.
Penikmat kopi dunia mengenal
arabica gayo karena mutu, aroma, dan citarasanya yang khas. Tercatat
kopi Gayo sangat diminati oleh konsumen di Amerika, Eropa, dan Jepang.
Mereka mengatakan kopi dari Dataran Tinggi Gayo mempunyai aroma khas
dengan perisa (flavor) kompleks, dan kekentalan (body) yang kuat.
Perkebunan
kopi rakyat di Dataran Tinggi Gayo sampai saat ini menyebar di Tiga
kabupaten, yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues, dengan total
luas areal mencapai 93.316.04 hektar.
Perinciannya 48.000 hektar
berada di Aceh Tengah, 45.316.04 hektar di Bener Meriah, dan 3.000
hektar di Gayo Lues. Dari total tersebut, 85 persennya menghasilkan
jenis arabica dan 15 persen sisanya menghasilkan jenis robusta.
Data
Dinas Perkebunan Aceh Tengah dan Bener Meriah tahun 2012, mencatat
produktivitas rata-rata kebun kopi rakyat di kedua kabupaten bersaudara
ini berkisar antara 700-800 kilogram perhektar pertahun.
Dari
kebun kopi, masyarakat Gayo menghidupi keluarga, menyekolahkan
anak-anak, hingga menunaikan ibadah haji. Bagi masyarakat Gayo, kopi
adalah nafas kehidupan, kopi adalah ekspresi kebudayaan, kopi menjadi
seni dan tradisi yang tak dapat dipisahkan. Kopi adalah harapan dan masa
depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar