Rabu, 27 Maret 2013

Eksotisme Koloni Kalong di Soppeng

Eksotisme Koloni Kalong di Soppeng
Jika Anda ingin berjodoh dengan orang asal Soppeng, cukup berdiri di bawah pohon asam tempat kelelawar bersarang. Masyarakat Soppeng percaya bahwa seseorang dari luar kota yang kebetulan berkunjung ke tempat itu dan terkena air kencing kelelawar, m
aka diyakini bahwa jodoh orang tersebut adalah orang Soppeng.
Tapi, saat saya hendak melihat langsung kelelawar di pusat kota Watansoppeng, ibu kota Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, teman saya warga Soppeng, Khaerul Amri, 26 tahun, justru menyarankan agar saya mengenakan payung. Alasannya agar tidak terkena kotoran kelelawar. Tiba di sana, kami disambut riuh suara kelelawar yang bergelantungan di atas pohon asam, di sekitar Masjid Raya. Beberapa ekor tampak terbang ke sana-kemari, hinggap dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Pemandangan semakin indah ketika langit berubah menjadi jingga.
Meskipun aroma di sekitar pohon asam sangat tidak enak, kesabaran saya menahan bau sangit kelelawar terbayarkan oleh pemandangan yang tak bisa saya temukan di tempat lain.
Terdapat ribuan ekor kelelawar di sana. Saking banyaknya kelelawar, malah menjadi salah satu ikon Kota Watansoppeng. Keberadaannya juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang ke kota itu. Koloni kelelawar tersebut akan beterbangan untuk mencari makan pada saat matahari tenggelam dan kembali ketika fajar menjelang.
Warga Soppeng percaya banyak mitos terhadap keberadaan mamalia terbang itu. Selain dianggap sebagai "penjaga" Kota Watansoppeng, jika kalong-kalong tersebut pergi dalam waktu lama, warga meyakini hal tersebut sebagai pertanda bahaya.
Kelelawar juga dipercaya bisa menjadi obat untuk beberapa macam penyakit. Hati kelelawar dikonsumsi oleh penderita asma sebagai obat tradisional. Hewan nokturnal yang satu ini dalam cerita-cerita horor Barat kerap dikaitkan dengan keberadaan drakula pengisap darah. Namun kelelawar yang berkoloni di Kota Watansoppeng adalah vegetarian alias pemakan buah-buahan.
Mumpung masih berada di Watansoppeng, tak jauh dari koloni kelelawar, kita bisa menikmati suasana kota dari ketinggian di Vila Yuliana, gedung tua bekas peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang saat ini difungsikan menjadi museum.
Gedung ini dibangun C.A. Krosen pada 1905 dengan menggunakan perpaduan arsitektur Eropa dan Bugis. Vila ini merupakan bangunan kembar yang kembarannya berada di Belanda.
Berhadapan dengan Vila Yuliana, ada kompleks Istana Datu Soppeng yang dibangun sekitar 1261 pada masa pemerintahan Raja Soppeng I Latemmamala yang bergelar Petta Bakkae.
Eksotisme Soppeng tak berhenti di sana. Daerah ini juga memiliki beberapa tujuan wisata alam yang tak kalah menarik. Seperti pemandian air panas Lejja, yang berada di kawasan hutan lindung berbukit dengan panorama yang indah di Desa Bulu, Kecamatan Marioriawa, 44 kilometer utara Kota Watansoppeng. Setiap hari, terutama pada waktu liburan, lokasi tersebut selalu dipadati pengunjung. Air panas yang suhunya bisa mencapai 60 derajat Celsius ini diyakini bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit, dari gatal-gatal hingga rematik.
Wisata pemandian lain adalah Ompo, yang berjarak 3 kilometer ke sebelah utara Kota Watansoppeng, tepatnya di Kelurahan Ompo, Kecamatan Lalabata. Ompo berasal dari kata mompo, yang artinya muncul. Menurut legenda masyarakat sekitar, dulu ada seorang petani yang tenggelam bersama kerbaunya di tempat itu. Setelah dicari ke mana-mana, sang petani tak juga ditemukan. Kemudian dari tempat hilangnya tersebut muncul mata air, yang kemudian dikenal dengan nama Ompo atau Mompo.
Berwisata mengelilingi suatu daerah tak akan lengkap rasanya bila tak membawa pulang oleh-oleh khas daerah tersebut. Anda bisa langsung ke toko Walasoji yang berlokasi di Jalan Kemakmuran, Ruko Pakanrebete, Nomor 11. Tersedia beragam suvenir di tempat ini, seperti songko Bugis, gelang, dan kalung khas Soppeng. Selain itu, ada makanan khas, seperti tape dan kue bolu.
Butuh waktu kurang-lebih empat jam untuk mencapai kota ini dari Makassar. Ada dua pilihan jalan yang bisa ditempuh untuk menuju Negeri Kalong ini. Pertama, melalui jalan poros Camba, atau bisa juga melalui jalan poros Bulu’dua.

Tidak ada komentar: