Dua aspek
utama dalam pembelajaran STEM adalah proses sains dan desain proses enjiniring
yang keduanya sangat berkaitan untuk mendukung pembelajaran. Proses sains
merupakan proses berjenjang yang terdiri dari 5 tahapan utama, yaitu:
1.
Mengemukakan pertanyaan atau melakukan
pengamatan.
2.
Menyusun hioptesis
3.
Menyusun perkiraan jawaban
4.
Melakukan tes/ eksperimen
Sementara
desain proses enjiniring merupakan suatu tahapan siklus yang secara umum
dimulai dari pemetaan masalah
dilanjutkan dengan merancang solusi untuk pemecahan masalah tersebut,
selanjutnya untuk membuktikan bahwa pemecahan masalah itu mungkin dilakukan,
dalam desain proses enjiniring dilakukan juga pemodelan untuk menjawab permasalahan
yang muncul. Pemodelan ini kemudian dicobakan dan hasilnya akan di evaluasi
apakah model solusi pemecahan masalah sudah efektif untuk memecahkan masalah
atau belum, bila dirasa kurang efektif maka dilakukan perbaikan desain model
pemecahan masalah tersebut. Model yang dikenalkan dalam desain proses
enjiniring dapat berbentuk produk, proses dan sistem.
Keterkaitan antara sains proses
dan desain proses enjiniring dalam pembelajaran STEM dapat lebih mudah difahami
dengan penggambaran pada gambar 3 berikut. Pada
bagian pertama di sebelah kiri gambar, aktivitas dominan adalah proses sains
dengan pendekatan observasi, inkuiri dan percobaan yang didasarkan pada
fenomena dan permasalahan di dunia nyata. Hasil pengamatan tersebut dapat
dikaitkan dengan desain proses enjiniring di sebelah kanan gambar dengan
melalui proses analisis terlebih dahulu, pada proses ini tahap pertama dari
engineering berupa pemetaan masalah, dilakukan dengan proses sains yang dapat
memberikan gambaran komperhensif tentang masalah tersebut. Analisa dari hasil
pengamatan masalah akan berusaha dipecahkan dengan menggunakan teori serta
pemodelan yang muncul dari aktivitas pencarian solusi, berfikir kritis dan
creative thinking yang secara dominan dilakukan dengan desain proses engineering
(National Academy of Sciences, 2011).
Pada tahap selanjutnya, sains
proses dan desain enjiniring proses secara bersama dibutuhkan untuk melakukan
analisis apakah teori serta model yang diajukan bisa memecahkan masalah dengan
cara mengumpulkan, menguji dan menganalisis solusi pemecahan masalah untuk
kemudian di evaluasi dan disempurnakan. Dalam ketiga bagian dalam gambar,
analisis adalah bagian kunci untuk menghubungkan antara sains proses dan desain
proses enjiniring, saintist dan enjiner akan bekerja sama untuk melakukan
pemecahan masalah terbaik dengan segala sumber daya yang dimiliki. Dalam upaya
pemecahan masalah ini, kedua bagian dalam gambar melakukan Analisa masalah dan
data yang lebih mudah digambarkan melalui pemodelan termasuk menggunakan sektsa,
diagram, hubungan matematik, simulasi dan model purwarupa untuk memastikan
bahwa solusi benar bisa memecahkan masalah yang dihadapi, penggunaan
pemodelan-pemodelan ini membutuhkan kemampuan matematika yang mumpuni juga.
Tiga kemampuan saintist dan enjineer inilah yang berusaha dikenalkan kepada
siswa melalui pembelajaran STEM. Pembelajaran sains berbasis STEM terinkoporasi
adalah pembelajaran materi pokok sains yang di dalamnya terintegrasi
perancangan desain, system dan penggunaan teknologi untuk pemecahan masalah
nyata. Dengan demikian diharapkan pembelajaran berbasis pendidikan STEM
berkontribusi pada peningkatan daya saing Indonesia. Penjelasan lebih lengkap
mengenai hubungan dan practices antara proses sains dan desain proses
enjiniring pada kegiatan pembelajaran dibahas pada sub Tiga Dimensi STEM.
A.
Kontinum Pola Integrasi dalam Pendidikan STEM
Karakteristik utama dalam intergasi pendekatan
STEM dalam Implementasi Kurikulum 2013 adalah keterpaduaan/ integerasi sains,
teknologi, enjiniring dan matematika dalam memecahkan masalah di kehidupan
nyata. Pada pelaksanaannya di pembelajaran ataupun industry, terdapat beragam
cara dalam praktik integrasi disiplin-disiplin ilmu STEM tersebut. Cara, pola
dan derajat keterpaduan antara tiap disiplin ilmu dikategorikan ke dalam
beberapa pola tertentu yang ditentukan oleh banyak faktor (Roberts, 2012 dalam
Firman, 2016). Dalam perkembangannya, ada tiga pola pendekatan pembelajaran
STEM yang umum dikenal oleh komunitas Pendidikan. Pembeda utama dari ketiga
pola pendekatan ini adalah pada ketersinambungan dan derajat penggunaan konten
STEM, tiga pola ini dikenal dengan pola Silo, terinkoporasi (Embedded) dan
terintegerasi (integrated) (Robert dan Cantu, 2012).
1.
Pola Pendekatan Silo
Pola pendekatan Silo adalah pola pendekatan
paling terpisah dari pembelajaran STEM. Guru secara jelas memberikan instruksi
dan materi secara terpisah pada setiap mata pelajaran STEM. Keterkaitan antar
mata pelajaran pda pendekatan ini umumnya disampaikan secara tersurat melalui
pembicaraan guru di depan kelas (Dugger, 2010). Diantara pendekatan STEM
lainnya, pola pendekatan Silo merupakan pembelajaran yang lebih menekankan pada
penjelasan guru dibandingkan dengan kegiatan siswa atau secara umum dikenal
sebagai model pengajaran ceramah konvensional (Morrison, 2006). Sekali pun
terdapat kegiatan praktik atau pembuatan karya, karya tersebut dipelajari hanya
dalam satu perspektif mata pelajaran.
Pola pendekatan Silo dianggap sebagai pola pendekatan yang kurang sesuai
dalam pembelajaran STEM karena pelaksanaan pembelajaran dengan Silo membuat
siswa masil memiliki segregasi antar mata pelajaran dan tidak bias melihatnya
sebagai kesatuan utuh untuk memecahkan masalah di dunia nyata (Breiner,
Harkness, Johnson & Koehler, 2012). Contoh dari pola pendekatan Silo adalah
pembelajaran IPA Terpadu yang umum diajarkan pada jenjang sekolah menengah.
Sekalipun telah mengusung keterpaduan antar mata pelajaran ilmu sains,
pendekatan tiap keilmuan masih dilakukan secara terpisah dan minim menggunakan
proses enjiniring dalam prosesnya.
2.
Pola Pendekatan Embedded/Tertanam
Metode pola pendekatan tertanam umumnya dikenal
luas sebagai pendekatan yang memberikan penekanan pada pengetahuan yang
didapatkan melalui kajian permasalahan di dunia nyata dan Teknik pemecahan
masalah dalam konteks social, budaya dan fungsional (Chen, 2001). Pelaksanaan
pola terinkoporasi adalah pendekatan yang cukup sesuai dengan kebutuhan STEM
karena membutuhkan kecakapan multidisipliner dari materi dan konten yang siswa
dapatkan dari berbagai mata pelajaran atau pengalaman sebelumnya.
Dalam pendekatan tertanam, terdapat satu materi
yang lebih diutamakan dibandingkan yang lainnya sehingga integritas dari subjek
yang diutamakan tetap terjaga. Walau pun penekanan keutamaan ini memiliki
kemiripan dengan pendekatan silo, terdapat perbedaan yang mendasar bahwa pola
pendekatan tertanam meningkatkan pembelajaran dengan menunjukan hubungan yang
jelas antara materi yang diutamakan dan materi pendampingnya. Hubungan ini
disampaikan secara kontekstual dalam penjelasan bahwa materi-materi pendamping
adalah penguat konsep pada materi utama, namun bidang materi-materi pendamping
tersebut tidak dimasukkan ke dalam evaluasi penilaian.
Salah satu kelemahan dalam pendekatan materi
tertanam yaitu masih dapat terjadinya segregasi materi dalam pembelajaran. Jika
siswa tidak mampu mencari keterkaitan dan hubungan antara materi utama dan
materi pendamping, maka dikhawatirkan siswa hanya akan mendapatkan materi
secara terpotong-potong dan hanya belajar sebagian dari pembelajaran yang
harusnya menyeluruh. Selain itu, pendekatan ini penting menekankan bahwa materi
pendamping harus telah terlebih dahulu dikuasai oleh siswa sebagai materi
prasyarat agar siswa mampu lebih memahami konten materi utama dengan baik tanpa
harus mengalami kebingungan karena tidak fahamnya siswa pada konten materi
pendamping.
Gambar 5.
Pola Pendekatan Tertanam
3.
Pola Pendekatan Terintegerasi
Pola ketiga dan pola yang paling ideal adalah
pola pendekatan terintegrasi, pada pola ini tidak ada batas antara tiap mata
pelajaran sehingga semua bagian dari S, T, E, M diajarkan sebagai satu subjek
utuh. Pendekatan ini mungkin dilakukan hanya dengan kurikulum yang sesuai dan
mampu meningkatkan ketertarikan siswa pada bidang STEM. Pada pola pendekatan
ini umumnya menggunakan satu diantara dua model integrasi konsep antara
interdisiplin atau multidisiplin dan menggabungkan materi dari berbagai
tingkatan kelas menjadi satu kesatuan subjek yang memiliki semua aspek STEM dan
memiliki konten yang bisa memacu siswa untuk memiliki kemampuan berfikir
kritis, keterampilan pemecahan masalah dan pengetahuan untuk mencapai sebuah
kesimpulan.
Gambar 6. Pola pendekatan terintegrasi
Dalam model multidisiplin, siswa diarahkan untuk
mampu mencari hubungan antara mata pelajaran yang berbeda yang juga diajarkan
dalam waktu yang berbeda. Model ini membutuhkan kolaborasi yang baik antar guru
mata pelajaran untuk menjaminkan bahwa siswa memahami adanya keterkaitan antar
konsep dari materi yang diajarkan (Wang et al., 2011). Sementara itu, model
interdisiplin memulai pendekatan pembelajaran melalui masalah pada dunia nyata
(real life problem). Model ini menekankan pada keterkaitan-kulikular konten
dengan kemampuan berfikir kritis dan pemecahan masalah siswa yang didasarkan
pada pengetahuan yang telah dimiliki. Dapat disimpulkan bahwa, multidisiplin
mengarahkan siswa untuk menghubungkan konsep dari beberapa mata pelajaran,
sementara interdisiplin lebih memfokuskan pada perhatian siswa untuk memecahkan
masalah menggunakan berbagai konten dan kemampuan yang telah siswa miliki dari
berbagai mata pelajaran yang pernah mereka tahu (Wang et al., 2011). Secara
teori, pola pendekatan integrase dengan model interdisiplin adalah pendekatan
yang paling sulit dilakukan namun paling sesuai untuk pembelajaran STEM.
Implementasi ketiga pola pendekatan tersebut
nyatanya memiliki tantangan masing-masing. Dalam konteks Pendidikan dasar hingga
menengah di Indonesia dan mayoritas negara lainnya, hanya mata pelajaran sains
dan matematika yang menjadi bagian dari pembelajaran kurikulum konvensional,
sementara mata pelajaran/ pengetahuan teknologi dan enjiniring hanya menjadi
bagian dalam kurikulum sekolah kejuruan (vocational school) dan menjadi
komponen minor dalam pembelajaran di sekolah umum. Maka dari itu, Pendidikan
STEM yang dapat dikembangkan di Indonesia dan negara lainnya lebih terpumpu
pada sains dan matematika dengan pola pendekatan terinkoporasi. Pola
pengintegrasian yang lebih mendalam dengan menggabungkan materi S, T, E, M
dalam satu mata pelajaran lintas disiplin memerlukan restrukturisasi kurikulum
secara menyeluruh, sehingga relative sulit untuk dilaksanakan dalam konteks
kurikulum konvensional Indonesia. Pola pendekatan STEM yang paling mungkin
dilakukan tanpa merestrukturisasi kurikulum secara massif adalah dengan pola
terinkorporasi terutama dengan mengenalkan prinsip dan konsep enjiniring,
teknologi dan matematika sebagai materi pendamping dengan sains sebagai materi
utama.
Pola pendekatan ideal berupa integrasi penuh,
secara teori relative lebih mudah dilakukan pada jenjang sekolah dasar karena
siswa masih diajar oleh seorang guru kelas yang menguasai semua mata pelajaran.
Sementara pola terinkoporasi akan lebih efektif untuk dikembangkan di sekolah
menengah dengan catatan bahwa kegiatan yang dilakukan melibatkan akitivitas pemecahan masalah
otentik dalam konteks sosial, kultural dan fungsional (Roberts, 2012 dalam
Firman, 2016). Contoh dari beberapa pola terinkoporasi dengan sains sebagai
materi utama diberikan dalam modul-modul unit pembelajaran pada sesi
berikutnya.
B.
Dimensi dalam Framework K-12
Dalam upaya reformasi pendidikan sains di AS,
disusunlah sebuah standar pembelajaran sains yang dikenal dengan nama Next Generation Science Standard (NGSS). NGSS dikembangkan untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik
dalam pembelajaran STEM. terdapat 3 dimensi yang menjadi kerangka NGSS.
1.
Scientific
and Engineering Design Practices
Scientific Practices menggambarkan tingkah laku ilmuwan ketika
mereka melakukan investigasi dan membuat model serta teori tentang alam.
Sedangkan, engineering practices
merupakan kunci bagi enjiner untuk membuat model dan sistem.
Terdapat
delapan scientific and engineering design
practices yang sangat penting untuk dipelajari oleh siswa seperti yang
terlihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2. Scientific
and Engineering Design Practices
Practices
|
Sains
|
Enjiniiring
|
1. Membuat
pertanyaan (sains) dan menemukan masalah (enjiniiring
|
Siswa di semua
level harus dapat mengemukakan pertanyaan tentang teks yang siswa baca, fitur
fenomena yang siswa amati, dan kesimpulan yang mereka dapat lewat
investigasi.
|
siswa harus
bertanya untuk menjelaskan masalah yang harus diselesaikan dan memperoleh ide
atau solusi dari suatu masalah
|
2.
Mengembangkan dan menggunakan model.
Contoh dari
model yaitu berupa diagram, replika fisik, representasi matematis, analogi
dan simulasi komputer
|
Model digunakan untuk mewakili sistem (atau bagian sistem) yang sedang
dipelajari, untuk membantu pengembangan pertanyaan dan penjelasan, memperoleh
data yang dapat digunakan untuk membuat prediksi, dan mengkomunikasikan ide
ke siswa lainnya
|
Model dapat digunakan untuk: menganalisa sistem untuk melihat apa atau
dalam kondisi apa kecacatan mungkin terjadi, serta dapat menguji solusi yang
mungkin dalam menyelesaikan masalah.
Model juga dapat digunakan untuk menghaluskan desain dan sebagai
prototype untuk menguji performa desain
|
3. Merencanakan
dan melakukan investigasi
|
Siswa diberi
kesempatan untuk membuat perencaan, menginvestigasi variabel dan melakukan
investigasi
|
Perencanaan dan investigasi dilakukan untuk mendapatkan data penting
untuk menentukan kriteria atau parameter dan menguji desain.
|
4. Analisis dan
Interpretasi data
|
Data yang
dikumpulkan harus dipresentasikan dalam bentuk yang dapat mengungkapkan pola
dan hubungan, juga menyediakan hasil yang dapat dikomunikasikan ke orang lain
|
Membuat
keputusan berdasarkan bukti tentang sebuah desain yang akan bekerja;
menganalisis desain dengan membuat model atau purwarupa dan mengumpulkan data
bagaimana desain ini bekerja, termasuk dalam kondisi ekstrim
|
5. Menggunakan
pola berpikir matematis dan komputasi
|
Menggunakan
matematika untuk menunjukkan variable-variabel fisis dan hubungannya serta
membuat prediksi kuantitatif. Aplikasi lainnya dari matematika untuk sains
dan enjiniiring yaitu logika, geomteri, dan level paling tinggi yaitu
kalkulus.
|
Enjiner membuat
analisis desain berbasis matematika untuk menghitung apakah desain yang
dibuat sesuai dengna yang diharapkan dan apakah desain tersebut dapat
dilaksanakan sesuai dengan anggaran.
|
6. Membangun
eksplanasi (sains) dan mendesain solusi (enjiniiring)
|
Siswa diminta
untuk membangun penjelasannya, juga mengaplikasikan penjelasan materi yang
telah dipelajari
|
Menetapkan
batasan dan kriteria untuk kualitas solusi yang diinginkan, mengembangkan
rencana desain, membuat dan menguji purwarupa.
|
7. Terlibat
dalam argumen berdasarkan bukti
|
Pemikiran dan argument berbasis bukti merupakan hal yang penting dalam
mengidentifikasi penjelasan yang paling baik untuk suatu fenomena alam.
|
Pemikiran dan argument dibutuhkan untuk mengidentifikasi solusi paling
baik.
|
8.Mendapatkan,
mengevaluasi dan mengkomunikasikan informasi
|
Ilmuwan dan enjiner menggunakan banyak sumber untuk mendapatkan
informasi yang digunakan untuk mengevaluasi kepantasan dan validitas klaim,
metoda dan desain. Mengkomunikasikan informasi, bukti, dan ide dapat
dilakukan dengan berbagai cara: tabel, diagram, grafik, model, display
interaktif, rumus baik itu secara lisan, tulisan dan diskusi.
Sains tidak akan maju
jika ilmuwan tidak dapat mengkomunikasikan hasilnya secara jelas dan persuasive.
Begitu pula enjiner tidak dapat membuat teknologi baru jika kelebihan
dari desain nya tidak dapat dikomunikasikan secara jelas.
|
2.
Crosscutting
concept
Secara singkat, suatu
konsep disebut crosscutting concept
jika konsep tersebut dapat mengkomunikasikan cara berpikir saintifik suatu mata
pelajaran, dan konsep tersebut berlaku untuk banyak mata pelajaran Sains dan
enjiniiring. Suatu konsep disebut bukan crosscutting concept jika konsep
tersebut tidak dapat megkomunikasikan cara berpikir saintifik atau hanya
berlaku untuk satu atau dua mata pelajaran (Snider, C, “What Do I Do with Crosscutting Concepts?”).
Sebagai
contoh yaitu crosscutting concept energy:
“Hukum yang sama tentang konservasi energy
digunakan oleh enjiner untuk mendesain mobil yang lebih efisien, seorang
nutrisionis menghitug makanan yang ideal untuk pasien, dan oleh ekologis untuk
menginvestigasi bagaiman energy bergerak di suatu ekosistem. “
Crosscutting
concept energy mempunyai potensi yang besar untuk membantu siswa memahami
bagaimana saintis dan enjiner berpikir, dan bagaimana mata pelajaran biologi,
fisika, kimia, enjiniiring memiliki hal yang mirip dalam konsep juga cara
berpikir.
Tabel 3. Crosscutting
Concepts
No
|
Crosscutting Concepts
|
Deskripsi
|
1
|
Pola
|
Memperhatikan pola, merupakan langkah pertama untuk mengorganisasi
fenomena dan bertanya saintifik tentang mengapa dan bagaimana pola terjadi.
Tipe-tipe pola terdiri dari klasifikasi, persamaan atau perbedaan,
distribusi, hubungan diantara variable, perubahan dan kecepatan perubahan.
Beberapa alat yang dapat digunakan untuk mencari pola yaitu, grafik, bagan
atau skema, peta dan data statistik.
|
2
|
Sebab dan Akibat: Mekanisme dan Eksplanasi
|
Kegiatan utama dalam IPA adalah menyelidiki dan menjelaskan hubungan
sebab akibat dan mekanisme mediasinya. Mekanisme tersebut dapat diuji melalui
konteks yang diberikan dan digunakan untuk memprediksi serta menjelaskan
kejadian-kejadian dalam konteks yang baru.
|
3
|
Skala, Proporsi dan Kuantitas
|
Skala, proporsi, dan kuantitas berhubungan dengan ukuran dan relasi
matematis. Berhubungan dengan konsep ini, siswa penting untuk memahami
perbedaan mengukur dan mengenali bagaimana perubahan skala, proporsi dan
kuantitas mempengaruhi fungsi dan struktur suatu sistem.
|
4
|
Sistem dan Model Sistem
|
Model akan sangat berguna dalam memprediksi tingkah laku sistem atau
dalam mengdiagnosa masalah, kegagalan, terlepas dari tipe sistem apa yang
sedang diuji. Sebuah model sistem yang digunakan untuk mengembangkan
penjelasan saintifik atau desain enjiniiring tidak hanya harus dapat
menentukan bagian atau subsistem, tetapi juga interaksi diantara satu bagian
dengan bagian lainnya.
|
5
|
Energi dan Materi: Aliran, Siklus, dan Konservasi
|
Dengan mengkaji jejak aliran energy dan usaha di dalam, di luar dan di
antara sistem mampu membantu seseorang untuk memahami kemungkinan dan
keterbatasan suatu sistem.
|
6
|
Struktur dan Fungsi
|
Sifat dan funsgi suatu benda ditentukan oleh bagaimana cara benda
tersebut dibentuk.
|
7
|
Stabilitas dan Perubahan
|
Stabilitas dan variabel yang mengatur kecepatan perubahan merupakan hal
yang penting untuk dipertimbangkan maupun untuk dipahami, baik itu untuk
sistem buatan atau sistem alami.
|
3.
Disciplinary
Core Ideas
Dimensi
ketiga STEM yaitu disciplinary core ideas (DCI),
dimensi ketiga ini sudah lebih dikenal oleh guru dibanding dengan dua dimensi
STEM lainnya. DCI merupakan kumpulan ide utama dari mata pelajaran physical,
life, Earth and space Science. Dua domain lainnya yang termasuk dalam dimensi
ini adalah engineering, technologydan applied Science.
Tabel 4. Contoh Discplinary
Core Ideas
dan komponennya
Subject
|
Core and Component Idea
|
Physical Science
|
Energi (Core idea)
·
Definisi energy
·
Konservasi dan transfer energy
·
Hubungan antara energy dengan gaya
·
Energy dalam proses kimia dan
kehidupan sehari-hari
|
Life Sciences
|
Ekosistem: Interaksi, energy, dan
dinamika (core idea)
·
Hubungan interdependen dalam
ekosistem
·
Siklus materi dan transfer energi
dalam ekosistem.
·
Dinamika ekosistem
·
Interaksi sosial dan tingkah laku
grup
|
Earth and Space Science
|
Bumi dan Aktivitas Manusia
·
Sumber Daya Alam
·
Bencana alam
·
Dampak manusia terhadap bumi
·
Perubahan iklim global
|
Engineering
|
Desain enjiniiring
·
Menjelaskan dan membatasi masalah
enjiniiring
·
Mengembangkan solusi
·
Mengoptimalkan solusi desain
|
C. Engineering Design Process (EDP)
Pada pembelajaran berbasis STEM, salah satu
karakteristik yang harus terlihat dalam proses pembelajaran adalah proses
desain rekayasa atau Engineering Design
Process (EDP). Proses ini melatihkan kemampuan peserta didik dalam
memecahkan suatu permasalahan (problem
solving) dalam konteks dunia nyata (real
world).
Gambar 7.
Proses Desain Rekayasa (EDP)
Terdapat beberapa model yang dapat digunakan
sebagai EDP, salah satunya adalah yang dapat dilihat pada gambar 7, namun
secara umum EDP memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
1)
Identifikasi Masalah
Pada tahap ini peserta didik dalam kelompoknya mengidentifikasi dan
menganalisa permasalahan atau tantangan yang diberikan. Peserta didik juga
diharapkan dapat mengidentifikasi constraint
atau batasan dan kriteria dari solusi yang dipersyaratkan oleh permasalahan
atau tantangan yang diberikan tersebut sebagai contoh alat dan bahan tersedia,
biaya yang boleh dikeluarkan, dan berbagai kriteria yang dibutuhkan.
2)
Bertukar pikiran (brainstorm)
Tahap selanjutnya adalah peserta didik saling bertukar pikiran tentang
berbagai solusi yang memungkinkan untuk menjawab permasalahan. Peserta didik
dapat melakukan penelitian melalui bermacam-macam sumber informasi yang mereka
anggap relevan untuk membantu mereka dalam menyusun berbagai ide solusi. Dari
berbagai solusi yang dimungkinkan tersebut, peserta didik dalam kelompoknya
menentukan satu solusi terbaik yang akan ditawarkan.
3)
Merancang
Dengan ditentukannya satu solusi terbaik, maka tahapan selanjutnya
adalah memodelkan solusi tersebut dalam sebuah rancangan atau sketsa gambaran
konkrit dari solusi yang ditawarkan. Dalam rancangan tersebut, peserta didik
harus mampu menjelaskan bagian-bagian dari rancangannya, fungsi yang terkait
dari bagian-bagian tersebut, material yang digunakan, serta bagaimana rancangan
solusi mereka akan mampu menjawab permasalahan.
4)
Membangun (build/construct)
Selanjutnya, dengan menggunakan material yang ditentukan, dalam
kelompoknya peserta didik menyusun produk persis sesuai dengan hasil rancangan/sketsa
yang mereka susun.
5)
Ujicoba
Pada tahap ujicoba ini peserta didik akan mengetahui apakah solusi yang
mereka rancang dapat menjawab permasalahan atau tantangan yang diberikan di
awal.
6)
Revisi
Jika solusi yang dikembangkan belum berhasil menjawab permasalahan, maka
dalam kelompoknya peserta didik mengidentifikasi dan menganalisa penyebab dari
adanya kegagalan tersebut dan menentukan perbaikan yang harus dilakukan pada
solusi awal.
7)
Berbagi
solusi/Komunikasi
Pada akhirnya masing-masing kelompok akan mengkomunikasikan berbagai
pengalaman mereka dalam menjawab permasalahan atau tantangan baik dalam bentuk
presentasi maupun laporan.
D.
Analisis Materi untuk Pendekatan STEM dalam
Implementasi Kurikulum 2013
Materi sains untuk pendekatan STEM tentunya harus
disesuaikan dengan karakteristik pembelajaran STEM. Dalam menganalisis materi
pada kurikulum 2013, kita dapat mengidentifikasi berbagai Kompetensi Dasar (KD)
pada ranah pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan kegiatan
perancangan baik itu berupa proses, sistem, maupun produk.
Jika KD yang sesuai telah diidentifikasi dan
dipilih, maka selanjutnya adalah merumuskan indikator pencapaian kompetensi
(IPK) sebagai penanda pencapaian KD yang dapat diukur/diobservasi yang menjadi
acuan penilaian mata pelajaran. Kriteria yang dapat digunakan dalam menyusun
IPK yaitu Urgensi, Kontinuitas, Relevansi, Keterpakaian (UKRK).
Hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah
analisa STEM pada topik terpilih. Pada proses analisa ini harus diidentifikasi
kegiatan-kegiatan yang sesuai pada keempat ranah sains, teknologi, rekayasa,
dan matematika.
Contoh analisis STEM pada pembelajaran IPA dalam
Implementasi Kurikulum 2013 akan dijabarkan pada Handout Analisis STEM dalam Implementasi Kurikulum
2013.
E.
STEM dalam Pembelajaran Sains/IPA
Pembelajaran sains berbasis STEM dalam kelas
didesain untuk memberi peluang bagi peserta didik mengaplikasikan
pengetahuan akademik dalam dunia nyata.
Pengalaman belajar sains berbasis pendidikan STEM mengembangkan pemahaman
peserta didik terhadap konten sains, kemampuan inovasi dan pemecahan masalah,
soft skills (antara lain komunikasi, kerjasama, kepemimpinan). Pembelajaran
sains berbasis STEM menumbuhkan minat dan motivasi peserta didik untuk
melanjutkan studi dan berkarir dalam bidang profesi iptek, sebagaimana
dibutuhkan negara saat ini dan di masa datang.
Agar siswa mampu memecahkan masalah sains dan
teknologi, diperlukan keterampilan berpikir dan berkreasi. Pembelajaran sains
dengan pendekatan STEM melatih peserta
didik dalam berpikir kritis, kreatif, berkolaborasi dan berkomunikasi. Oleh
karena itu, pembelajaran dengan pendekatan STEM mendukung pencapaian
keterampilan di abad 21. Penyajian
pembelajaran dengan pendekatan STEM harus memenuhi beberapa aspek dalam Scientific & Engineering Practice,
juga menggambarkan adanya Crosscutting Concept atau
irisan konsep di antara pengetahuan
sains, teknologi, enjiniring dan matematika. Selain itu Higher Order Thinking Skills (HOTS)
menjadi keharusan di dalam pembelajaran
maupun penilaiannya.
Pembelajaran sains berbasis STEM perlu
dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran berbasis proyek (PjBL), yang di
dalamnya peserta didik ditantang untuk kritis, kreatif, dan inovatif dalam
memecahkan masalah nyata, yang melibatkan kegiatan kelompok (tim) secara
kolaboratif.
Referensi
Breiner,
J., Harkness, S., Johnson, C., & Koehler, C. (2012). What is STEM? A
discussion about conceptions of STEM in education and partnerships. School
Science and Mathematics, 112(1), p. 3-11.
Bybee, R.
W., & Landes, N. M. (1988) What research says about new science curriculums
(BSCS) Science and Children, 25, 35-39.
Chen, M.
(2001). A potential limitation of embedded-teaching for formal learning. In J.
Moore & K. Stenning (Eds.), Proceedings of the Twenty-Third Annual
Conference of the Cognitive Science Society (pp. 194-199). Edinburgh, Scotland:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Dugger,
W. (2010). Evolution of STEM in the U.S.
6th Biennial International Conference on Technology Education Research.
[Avaliable online: http://citeseerx.ist.psu.edu]
Hanover
Research (2011). K-12 STEM education overview.
Harry
Firman. (2016). Pendidikan STEM sebagai Kerangka Inovasi Pembelajaran Kimia
untuk Meningkatkan Daya Saing Bangsa dalam Era Masyarakat Ekonomi Asean.
Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6.
Johnson,
D. W., Johnson, R. T., & Smith, K. (1991). Active learning: Cooperation in
the college classroom. Edina, MN: Interaction Book.
Karplus,
R., & Their, H. D. (1967). A new look at elementary school science.
Chicago, IL: Rand McNally.
Morrison,
J. (2006). STEM education monograph series: Attributes of STEM education.
Teaching Institute for Essential Science. Baltimore, MD.
National
Academy of Sciences (2011). A Framework for K-12 Science Education: Practices,
Crosscutting Concepts, and Core Ideas. The National Academic Press: Washington
DC.
Roberts,
A. (2012). A justification for STEM education. Technology and Engineering
Teacher, 74(8), 1-5.
Roberts,
A. & Cantu, D. (2012). Applying STEM instructional strategies to design and
technology curriculum. Technology Education in the 21st Century, (73), 111-118.
Resnick,
L. B. (1999). Making America smarter. Education Week Century Series. 18 (40),
38-40. Retrieved from http://www.edweek.org/ew/vol-18/40resnick.h18
Wang, H., Moore,
T., Roehrig, G., & Park, M. (2011). STEM integration: Teacher perceptions
and practice. Journal of Pre-College Engineering Education Research, 1(2),
1-13.
1 komentar:
Izin promo ya Admin^^
Bosan gak tau mau ngapain, ayo buruan gabung dengan kami
minimal deposit dan withdraw nya hanya 15 ribu rupiah ya :D
Kami Juga Menerima Deposit Via Pulsa & E-Money
- Telkomsel
- XL axiata
- OVO
- DANA
segera DAFTAR di WWW.AJOKARTU.CC ....:)
Posting Komentar