CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL)
PADA DIKLAT GURU MATA PELAJARAN KIMIA
MADRASAH ALIYAH (MA)
Zainul Arief
(Widyaiswara Pertama Balai Diklat Keagamaan Surabaya)
Abstrak : Proses pembelajaran Kimia di beberapa Balai Diklat keagamaan masih terkendala oleh tidak adanya laboratorium kimia yang representative. Hal ini menyebabkan pembelajaran kimia hanya sebatas proses penyampaian “pengetahuan tentang ilmu kimia”. Hanya sedikit yang arahnya pada proses internalisasi nilai-nilai sikap ilmiah yang seharusnya dimiliki oleh guru Kimia. Sikap ilmiah yang diharapkan dari peserta bukan berasal dari metode ceramah atau bahkan dengan menunjukkan praktikum yang ditayangkan melalui software computer di layar LCD. Seharusnya sikap ilmiah dari peserta diklat berasal dari hasil mereka berlatih mengerjakan praktikum sendiri atau secara berkelompok. Penulis sering melihat di beberapa sekolah SMA atau MA, guru menyajikan praktikum kimia hanya dengan menayangkan praktikum di layar computer tanpa praktikum yang seharusnya dilaksanakan oleh peserta didik. Hal ini tentu kurang baik dalam penanaman sikap ilmiah kepada peserta didik. Untuk itu perlu adanya inovasi dari WI untuk memberikan yang terbaik bagi peserta diklat. Dalam hal praktikum bisa dengan saling membantu, peserta diklat membawa peralatan praktikum sedangkan Balai Diklat menyiapkan bahan-bahan praktikum. Sedangkan dalam hal metode pembelajaran, WI menyajikan dalam bentuk metode kontekstual (Contextual Teaching and Learning/ CTL)). Dalam pembelajaran kontekstual terdapat 7 (tujuh) prinsip, yaitu: (1) constructism, (2) inquiry, (3) questioning, (4) learning community, (5) modeling, (6) reflection, dan (7) authentic assessment. Dilihat dari prinsip-prinsip tersebut, memungkinkan terjadinya proses internalisasi nilai-nilai sikap ilmiah pada peserta diklat yang nantinya akan diberikan pada siswa di madrasah.
Key Word: kontekstual, CTL, kimia
Pendahuluan
Proses pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh dua pihak yang keduanya berperan sebagai subyek, yakni anak didik/ peserta diklat sebagai pembelajar dan guru, dosen/ widyaiswara (WI) sebagai pengajar. Pembelajar melakukan kegiatan belajar sedangkan pengajar melakukan kegiatan mengajar. Kata “belajar” dan “mengajar” bermakna aktif, artinya subyek yang melekat pada kedua kata tersebut sama-sama melakukan aktivitas berupa aktivitas fisik maupun mental. Dengan demikian proses pembelajaran akan berjalan secara baik apabila arah proses yang terjadi berjalan secara dua arah, tidak satu arah.
Dari sekian banyak definisi pembelajaran atau learning, ada dua definisi yang patut saya kutip: (1) ”A relatively permanen change in response potentiality which occurs as a result of reinforced practice” dan (2) “a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth”. Dari dua definisi ini ada tiga prinsip yang layak diperhatikan. Pertama, belajar menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Artinya, peran penggiat pendidikan, khususnya guru dan dosen adalah sebagai pelaku perubahan (agen of change).
Kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Maknanya pendidikan seyogyanya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar-mengajar, dengan demikian, adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal, apabila tidak dikatakan sempurna, dan relatif permanen.
Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan. Artinya, proses belajar-mengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti disebut di atas.
Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteksnya dan tidak serta merta didapat secara tiba-tiba. Berbeda dengan Rasulullah yang mendapat pengetahuan secara langsung dari Malaikat Jibril. Beliau langsung menjadi manusia yang pandai. Akan tetapi untuk mempertahankan pengetahuan beliau, tetap saja diperlukan pengecekan oleh Malaikat Jibril secara priodik. Hal ini diperlukan untuk mengkonstruksi pengetahuan beliau dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan demikian belajar dimaknai sebagi proses membangun gagasan baru secara terus-menerus atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Belajar tidak hanya menggali informasi atau mengkaji materi pelajaran, namun harus mampu menciptakan perilaku ilmiah dengan senantiasa menggunakan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Kondisi inilah yang dimaksud komunitas belajar (learning community) dalam pendekatan kontekstual. Dengan demikian aktivitas belajar meliputi membaca, menyimak, menemukan, dan mendiskusikan, semuanya berada pada kerangka kegiatan ilmiah yang di dalamnya terdapat kegiatan memecahkan masalah. Ratna W. Dahar berpendapat bahwa prinsip yang paling esensial dari teori konstruktivisme ialah anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah dan pendidikan seharusnya memperhatikan itu untuk menunjang proses alamiah.
Guru-guru IPA, khususnya guru kimia harus mempunyai sikap ilmiah, jangan sampai dalam memberikan pelajaran kimia, lebih banyak dengan menggunakan metode ceramah dan mengerjakan soal-soal saja. Hal ini sangat jauh dari jiwa sikap ilmiah yang diharapkan. Strategi pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk proses internalisasi sikap ilmiah adalah pembelajaran yang didalamnya mengakomodasikan keterlibatan siswa secara fisik maupun mental. Pembelajaran yang dimaksud adalah ”Contextual Teaching and Learning (CTL)’’, karena di dalam CTL ini siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri atau membangun gagasan-gagasan baru dan memperbaharui gagasan lama yang sudah ada pada struktur kognitifnya. Di samping itu, siswa juga diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya, melakukan observasi dan memecahkan masalah secara bersam-sama dalam kerangka kegiatan ilmiah, dan siswa juga diberi kesempatan untuk melakukan abstraksi atau suatu proses pemaknaan kehidupan sehari-hari yang dirujukkan dengan teori atau contoh-contoh yang ada. Dengan melalui serangkaian kegiatan tersebut diharapkan nilai-nilai ilmiah akan dengan mudah terinternalisasikan pada diri siswa.
CTL menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber ddan pandangan. Disamping itu, telah diidentifikasikan enam unsur kunci CTL, seperti berikut ini (University of Wasshington, 2001)
(1) Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari. Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan denan hidup mereka;
(2) Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana-apa yang dipelajari.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Balai Diklat Keagamaan (BDK) yang berjumlah 12 (dua belas) di seluruh Indonesia hanya sedikit yang mempunyai laboratorium kimia, kalaupun ada masih kalah lengkap dengan laboratorium yang ada di Aliyah, apalagi jika dibandingkan Perguruan Tinggi. BDK Surabaya sendiri belum mempunyai laboratorium kimia. Kalaupun ada alat-alat kimianya, itu jauh dari yang dibutuhkan. Disinilah letak dari kreatifitas Widyaiswara diharapkan muncul. Walaupun situasi kelihatannya tidak memungkinkan untuk melaksanakan praktek kimia, tapi pembelajaran kontekstual masih memungkinkan untuk dilaksanakan.
Bagi BDK yang belum mempunyai laboratorium kimia tapi mengharuskan adanya praktikum kimia, bisa dengan cara seperti yang sudah dilaksanakan oleh BDK Surabaya. Pada surat panggilan peserta dilampirkan alat-alat kimia yang harus dibawa oleh peserta diklat, sedangkan bahan-bahan kimia disiapkan oleh BDK. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan oleh BDK tidak terlalu besar. Contoh dari alat-alat praktikum kimia yang bisa dibawa oleh peserta adalah sebagai berikut.
LAMPIRAN
Alat-alat kimia yang perlu dibawa oleh peserta Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia Madrasah Aliyah adalah sebagai berikut :
NO JENIS ALAT & BAHAN JUMLAH
1 Lumpang porselen dan Alu 1 set
2 Pelat tetes 1
3 Pipet tetes 3
4 Erlemeyer 250 Ml 1
5 Botol bekas kreatingdaeng atau sejenisnya 2
6 Sumbat gabus sebesar mulut botol kreatingdaeng atau Erlenmeyer 2
7 Pelubang sumbat gabus (gunting kecil/ obeng/ lainnya) 1
8 Tissue gelondong/ lembaran Secukupnya
9 Tabung reaksi 2
10 Sikat tabung reaksi 1
11 Baterai besar yang masih hidup 2
12 Baterai bekas kecil/ besar 1
13 Gelas ukur 100 mL 1
14 Termometer 1
Catatan :
• Bahan-bahan kimia dan beberapa alat praktikum disediakan Balai Diklat Keagamaan Surabaya
• Alat praktikum yang dibawa peserta disesuaikan dengan praktikum yang sudah direncanakan dan akan dilaksanakan dalam pelatihan di BDK.
Dalam tulisan ini akan diuraikan, apa yang dimaksud dengan CTL dan bagaimana CTL diaplikasikan pada diklat Guru Mata Pelajaran Kimia Aliyah. Diharapkan tulisan ini akan memberikan wawasan dan membuka pikiran para Widyaiswara IPA, khususnya WI kimia untuk senantiasa berinovasi dan bereksperimen menggunakan metode-metode alternatif dalam mengajarkan kimia di Balai Diklat Keagamaan di seluruh Indonesia.
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan persoalan hidup sehari-hari. Dengan konsep ini, diharapkan pembelajaran yang terjadi akan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. John A. Zahorik memberikan pengertian tentang pembelajaran kontektual sebagai berikut : ”Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of fact, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of a knower. Human create or construct knowledge as they ettempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), penemuan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Sebuah proses dikatakan menggunakan pendekatan CTL apabila tgelah menerapkan beberapa komponen tersebut. Depdiknas memberikan batasan tentang prinsip-prinsip CTL tersebut.
Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yakni pengetahuan dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas melalui konteksnya. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan ”menerima” pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivime berbeda dengan pandangan pengamat objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Strategi ”memperoleh” lebih diutamakan dibanding seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pengalaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda atau berbentuk jaringan mental dari konsep-konsep yang berkait dan akan mempengaruhi pemahaman ketika konsep baru diterima. Jaringan tersebut skemata. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi bermakna pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi bermakna struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan hadirnya pengetahuan baru.
Pembelajaran pada diklat guru kimia memungkinkan untuk diajarkan dengan menggunakan prinsip konstruktivisme, karena ketika peserta diklat memahami dan mendalami konsep-konsep tentang kimia dapat dimulai dari pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta diklat.
Penemuan (Inquiry)
Penemuan (Inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Widyaiswara harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Ada lima siklus inquiry, yaitu (1) observasi, (2) bertanya(questioning), (3) mengajukan dugaan (hipotesis), (4) pengumpulan data (data gathering), dan (5) penyimpulan (conclussion).
Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan WI untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir peserta. Bagi peserta siklat, kegaiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan strategi inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
Dalam penerapannya di diklat, bertanya dapat diterapkan, antara peserta dengan peserta, antara peserta dengan WI, antara WI dengan peserta, dan antara peserta dengan orang lain (outsourching) atau pada saat observasi lapangan (OL). Aktivitas bertanya ditemukan ketika peserta berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, mengamati dan sebagainya. Kegiatan tersebut akan menumbuhkan dorongan untuk ”bertanya”.
Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar memakai sepatu, ia bertanya kepada ibunya ”Ma, tolong pakaikan sepatu !” Ibunya membantu menggunakan sepatu dengan cara membuka tali sepatu, mengendurkan tali sepatu, memasangkan ke kaki, mengencangkan ikat sepatu. Dengan demikian anak dan ibu tersebut telah membentuk masyarakat belajar.
Hasil belajar di BDK diperoleh dari ”sharing” antara peserta satu dengan yang lain, antara peserta dengan WI, antara kelompok, antara yang tahu dengan yang belum tahu. Prosesnya bisa terjadi di kelas, di luar kelas selama masa kediklatan di BDK, dan dengan guru-guru di tempat observasi lapangan.
Dalam kelas CTL, WI disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Peserta dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang kelihatan pandai mengajari yang kurang, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat mendorong yang lambat, dan yang berinisiatif memberikan gagasannya. Kelompok diusahakan bisa diubah variasinya, baik jumlah maupun keanggotaannya.
Masyarakat belajar dapat terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah dan tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi. ”Widyaiswara yang terlalu berperilaku mengajari peserta” kurang mencerminkan masyarakat belajar, karena komunikasi yang terjadi hanya satu arah dan WI menjadi sangat dominan. Setiap anggota masyarakat belajar harus merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan berbeda yang harus dipelajari atau ditampilkan. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan.
Pemodelan (Modelling)
Komponen CTL berikutnya adalah pemodelan (modelling). Dalam proses pembelajaran yang dimaksud dengan pemodelan adalah suatu bentuk pengetahuan atau keterampilan dengan memberi model yang dapat ditiru atau cara melakukan sesuatu. WI memberi contoh cara membuka kulit baterai, mengambil karbon di dalam baterai dengan tang/ catut dan mengeluarkannya. Model tidak harus selalu WI, bisa peserta yang dijadikan model. Misalnya salah satu peserta dalam kelompoknya tampil di depan kelas.
Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Peserta diberi kesempatan untuk ”mengendapkan” apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan lama. Dengan demikian peserta merasa telah memperoleh pengetahuan baru yang berguna bagi dirinya.
Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)
Authentic Assesment adalah adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan peserta. Gambaran perkembangan belajar peserta perlu diketahui oleh WI agar bisa memastikan bahwa peserta mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang diperoleh menunjukkan bahwa peserta mengalami kesulitan belajar, maka secepatnya WI mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasinya. Assesment tidak harus selalu di akhir proses pembelajaran, tetapi dilakukan bersama-sama secara integral dalam proses pembelajaran. Kemajuan peserta dinilai dari proses, tidak hanya dari hasil. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn), bukan ditekankan pada bagaimana sebanyak mungkin informasi dapat diperoleh di akhir pelajaran. Data dapat diperoleh dari pre test, post test, micro teaching, dan yang terpenting adalah WI harus dapat melihat gambaran kemajuan peserta secara langsung di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian autentik mengajak para peserta untuk menggunakan pengetahuan akademik dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna.
KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN KIMIA
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu Fisika, Kimia, dan Biologi konsepnya diperoleh dari hasil pengamatan dan penelitian ilmiah. Hal ini lebih mudah untuk mengaplikasikan kontekstual dalam proses pembelajaran dibanding mata pelajaran rumpun lain. Namun hal ini terkadang sulit untuk dilaksanakan karena beberapa faktor, seperti kurangnya inovasi dan motivasi dari Widyaiswara, alat dan bahan praktikum yang diperlukan, dan dukungan dana dari BDK. Ketiga faktor di atas harus ada untuk bisa melaksanakan kontekstual pada pelajaran IPA di BDK.
Contoh 1
Rencana Pembelajaran Berbasis CTL
Nama Diklat : Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia MA
Mata Diklat : Pendalaman Materi
Materi Pokok : Reaksi Redoks
Sub Materi Pokok : Penyetaraan Reaksi Redoks
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Kompetensi Dasar : Peserta Diklat dapat menyelesaikan penyetaraan reaksi redoks
Langkah Pembelajaran :
1. Pendahuluan (Awal)
1. Sebagai kegiatan pembuka Widyaiswara(WI) mengajukan pertanyaan kepada peserta: ”Apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks? Apakah kejadian sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks?
2. Dengan instruksi dari WI, peserta diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 3 orang (jumlah peserta diklat perkelas di BDK sebanyak 30 orang).
2. Kegiatan Inti
1. WI menjelaskan bahwa penyetaraan reaksi dapat diselesaikan dengan dua metode, yaitu cara ½ reaksi dan cara bilangan oksidasi. WI menulis dua contoh reaksi redoks, satu soal dalam suasana asam dan satunya dalam suasana basa :
a) MnO4¯(aq)+ H2C2O4 (aq) → Mn2+ (aq) + CO2 (g) (suasana asam)
b) HPO3¯(aq) + BrO¯(aq) → PO43- + Br2 (aq) (suasana basa)
2. Dengan bimbingan WI, peserta diberi kesempatan untuk menyelesaikan contoh soal di atas dalam kelompoknya dengan cara ½ reaksi dan cara bilangan oksidasi. Setelah selesai, WI mempersilakan dua perwakilan kelompok yang paling cepat untuk mengerjakan di papan tulis. Satu perwakilan mengerjakan point a), dan satunya point b).
3. WI memberikan kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan masukan dan akhirnya memberikan pemantapan pada jawaban yang paling tepat.
4. WI beserta peserta memberikan aplaus pada jawaban yang benar.
5. WI memberikan kartu soal yang berisi tiga soal reaksi redoks untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi dikumpulkan ke WI.
6. WI meminta kelompok yang jawabannya kurang tepat untuk mengerjakan di papan tulis. Hal ini bertujuan agar diskusi kelas dapat berkembang.
7. Peserta lain diberi kesempatan untuk mengoreksi dan memberikan masukan. WI memberikan pemantapan dan memberikan aplaus bersama-sama.
3. Penutup
Bersama peserta, WI merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan dan membuat kesimpulan dalam menyelesaikan penyetaraan redoks.
Jika dicermati rencana pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip CTL dapat dilihat dari kegiatan sebagai berikut : (1) Proses Inquiry muncul pada saat peserta mengidentifikasi kejadian atau peristiwa sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks; menemukan cara menyelesaikan soal penyetaraan reaksi redoks dengan lebih mudah, (2) Questioning muncul ketika WI membimbing peserta dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks” dan ” apakah kejadian sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks”, serta bertanya dalam diskusi dengan teman kelompoknya, (3) Learning community terjadi pada saat kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar peserta dalam kelompok dan dalam diskusi kelas, (4) Authentic assesment dilakukan ketika peserta berdiskusi, menyelesaikan soal di papan tulis, membetulkan jawaban yang salah dan lembaran jawaban yang dikumpulkan, (5) Constructivism terjadi bila dari semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan memperdalam konsep penyetaraan reaksi redoks dengan cara membangun sendiri pengetahuan barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta, (6) Refleksi merupakan akhir dari kegiatan pembelajaran.
Contoh 2
Rencana Pembelajaran Berbasis CTL
Nama Diklat : Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia MA
Mata Diklat : Pendalaman Materi
Materi Pokok : Reaksi Redoks
Sub Materi Pokok : Reaksi elektrolisis
Alokasi Waktu : 3 x 45 menit
Kompetensi Dasar : Peserta Diklat dapat melakukan praktikum penyepuhan
Langkah Pembelajaran :
1. Pendahuluan (Awal)
1. Sebagai kegiatan pembuka Widyaiswara(WI) mengajukan pertanyaan kepada peserta: ”Apakah yang dimaksud dengan reaksi elektrolisis? Apakah kegunaan dari penyepuhan? Apakah ada diantara bapak/ibu yang pernah melakukan penyepuhan emas, tembaga, atau logam lainnya?
2. Dengan instruksi dari WI, peserta diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 3 orang (jumlah anggota kelompok praktikum dibuat sedikit agar aktivitas peserta lebih intens).
2. Kegiatan Inti
1. Dengan bimbingan WI, peserta diminta untuk menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk praktek penyepuhan tembaga dan emas di atas meja masing-masing.
2. WI menjelaskan ”penyepuhan tembaga akan dilakukan oleh semua kelompok, sedangkan penyepuhan emas karena harga emas yang sangat mahal, maka cukup didemonstrasikan di depan kelas oleh salah satu kelompok. Cara penyepuhannya sama dengan penyepuhan tembaga”.
3. WI membagikan lembar kerja praktikum dan menjelaskan cara kerja penyepuhan tembaga. Peserta diminta untuk menyimak, mencatat, dan bertanya.”lempeng tembaga tipis kita potong kecil-kecil, lalu kita timbang seberat 0,2 gram. Taruh di cawan porselen, tambahkan air raja sedikit dan panaskan di atas api yang kecil. Tunggu hingga semua tembaga habis larut dan menjadi serbuk. Jika masih ada tembaga kecil-kecil, tambahkan lagi air raja sedikit hingga semua tembaga larut. Jangan menambah air raja berlebihan karena akan mengurangi keindahan hasil serbuk tembaga. Panaskan 300 gram air dalam beker gelas sampai suhu sekitar 500C lalu masukkan KCN atau NaCN (sebagai katalis). Masukkan sedikit air hangat tersebut ke cawan porselen yang berisi serbuk tembaga tadi hingga semua serbuk tembaga larut, kemudian masukkan kembali ke dalam beker gelas. Larutan tembaga tersebut siap digunakan untuk proses penyepuhan. Tahap ini merupakan tahap terakhir. Pertahankan suhu larutan sekitar 500C. Hidupkan trafo dan atur tegangan 10-12 volt DC. Ikat benda yang akan dilapisi tembaga ke kabel tembaga yang terhubung ke kutub negatif trafo dan celupkan ke dalam larutan tembaga selama 3 sampai 15 detik, tergantung besar kecilnya benda. Angkat benda tadi. Kutub positif bisa digunakan lempeng tembaga yang cukup besar atau kalau tidak ada, bisa digunakan sendok stainless steel. Untuk sepuh emas kutub positif sebaiknya digunakan lempeng platina(Pt), namun kalau tidak ada juga bisa digunakan sendok stainless steel.
4. Setelah semua peserta paham prosedur kerja praktikum penyepuhan, dengan bimbingan WI semua kelompok dipersilakan untuk melaksanakan praktikum sendiri-sendiri.
5. Setelah selesai praktikum, masing-masing kelompok mengumpulkan lembar kerja praktikum.
6. Dengan bimbingan WI salah satu kelompok diminta mempresentasikan lembar kerja hasil praktikumnya dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dialami selama praktikum.
7. Dengan bimbingan WI, kelompok lain diminta memberikan masukan.
8. WI beserta peserta memberikan aplaus pada kelompok yang mau tampil presentasi.
9. Kelompok yang mau tampil diberi penghargaan untuk mendemonstrasikan proses penyepuhan emas dibimbing oleh WI. Peserta mengamati, mencatat dan bertanya.
3. Penutup
WI merefleksikan seluruh kegiatan dan membuat kesimpulan dari penyepuhan tembaga dan emas.
Jika dicermati rencana pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip CTL dapat dilihat dari kegiatan sebagai berikut : (1) Proses Inquiry muncul pada saat peserta mengidentifikasi kegunaan penyepuhan dalam kehidupan sehari-hari; menemukan perbedaan konsep penyepuhan di buku teks sekolah dengan praktikum sebenarnya; belajar mengambil kesimpulan dari data praktikum, (2) Questioning muncul ketika WI membimbing peserta dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan reaksi elektrolisis” dan ” apakah kegunaan dari penyepuhan”, bertanya tentang prosedur kerja yang belum jelas dan dalam diskusi dengan teman kelompoknya, (3) Learning community terjadi pada saat kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar peserta dalam kelompok dan dalam diskusi kelas, (4) Authentic assesment dilakukan ketika peserta berdiskusi, presentasi, dan lembaran kerja praktikum yang dikumpulkan, (5) Dari semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan memperdalam konsep penyepuhan dengan cara membangun sendiri pengetahuan barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta, itulah makna constructivism, kemudian pembelajaran diakhiri dengan refleksi.
Penutup
Proses pembelajaran berbasis CTL tidak hanya sekedar memberi peran yang lebih besar kepada peserta diklat sebagai pelaku pembelajaran(apalagi diklat, pembelajarannya diharuskan memakai metode andragogi bukan paedagogi). Lebih dari itu, CTL seharusnya dapat menghasilkan pembelajaran yang berbentuk kecakapan hidup(life skill). Beberapa kecakapan hidup yang dimaksud berupa kecakapan sosial (sosial skill), kecakapan kerjasama dan kecakapan leadership. Kecakapan ini dibangun pada saat peserta berdiskusi dalam kelompok, melaksanakan praktikum bersama-sama, berkomunikasi lisan maupun tulisan. Kecakapan ini dibangun ketika peserta mempresentasikan hasil diskusi/ praktikum dan membuat hasil diskusi/ lembar kerja praktikum dalam bentuk tulisan.
Pembelajaran berbasis CTL juga dapat menumbuhkembangkan self awaraness peserta. Pada waktu mengerjakan soal yang dirasakan rumit, ternyata teman lain dapat mengerjakan lebih mudah. Konsep elektrolisis di buku ternyata tidak semudah atau berbeda jika dilakukan praktikum sebenarnya. Hal ini akan terbentuk kesadaran diri (self awareness) bahwa peserta masih perlu belajar lagi serta perlunya praktikum untuk mempermudah pemahaman dan pendalaman suatu konsep. Dampak lain dari pembelajaran berbasis CTL adalah terbentuknya kecakapan self regulation. Kecakapan ini terbentuk ketika peserta berdiskusi dengan temannya. Pada saat diskusi, peserta dilatihkan bagaimana cara mengendalikan emosi, cara menghargai pendapat orang lain, dan cara mengambil keputusan bersama.
Life skill dalam bentuk kecakapan berpikir rasional (thinking skill) juga terlatihkan pada proses pembelajaran berbasis CTL. Thinking skill ini terlatihkan ketika siswa melakukan proses inquiry. Pada proses ini dilatih untuk melakukan identifikasi, mengumpulkan data, mengolah data, dan belajar mengambil kesimpulan dari data yang ada. Kemampuan memberikan argumen saat berdiskusi dan mengambil kesimpulan secara tidak sengaja terlatihkan dari proses CTL. Life skill tersebut diperoleh peserta bukan dari dampak praktikum saja, melainkan dampak proses pembelajaran berbasis CTL.
Daftar Pustaka
Arief Zainul, ”Pendalaman Materi Kimia MA”, Makalah disampaikan pada ”Diklat Guru Mapel Kimia MA”, BDK Surabaya, 2007.
Anton J. Hartomo & Tomijiro Kaneko, Mengenal Pelapisan Logam (Elektroplating), Andi Offset, Yogyakarta
Departemen Pendidikan Nasional. Pendekatan Kontektual (Contextual Teaching and Learning, CTL), Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2002.
Indrawan Satoto Pamungkas, Menjadi Pengusaha elektroplating Chrome, CV.Andi Offset, Yogyakarta, 2007
Johnson, Elaine B. Contextual Teaching and Learning. Penerjemah Ibnu setiawan, Bandung: MLC, 2007
John A.Zahorik, Constructivist Teaching, Indiana: Phi-Delta Kappa Education Foundation, 2002.
Ratna Willis Dahar, Teori-teori Belajar, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1998.
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka, 2007.
PADA DIKLAT GURU MATA PELAJARAN KIMIA
MADRASAH ALIYAH (MA)
Zainul Arief
(Widyaiswara Pertama Balai Diklat Keagamaan Surabaya)
Abstrak : Proses pembelajaran Kimia di beberapa Balai Diklat keagamaan masih terkendala oleh tidak adanya laboratorium kimia yang representative. Hal ini menyebabkan pembelajaran kimia hanya sebatas proses penyampaian “pengetahuan tentang ilmu kimia”. Hanya sedikit yang arahnya pada proses internalisasi nilai-nilai sikap ilmiah yang seharusnya dimiliki oleh guru Kimia. Sikap ilmiah yang diharapkan dari peserta bukan berasal dari metode ceramah atau bahkan dengan menunjukkan praktikum yang ditayangkan melalui software computer di layar LCD. Seharusnya sikap ilmiah dari peserta diklat berasal dari hasil mereka berlatih mengerjakan praktikum sendiri atau secara berkelompok. Penulis sering melihat di beberapa sekolah SMA atau MA, guru menyajikan praktikum kimia hanya dengan menayangkan praktikum di layar computer tanpa praktikum yang seharusnya dilaksanakan oleh peserta didik. Hal ini tentu kurang baik dalam penanaman sikap ilmiah kepada peserta didik. Untuk itu perlu adanya inovasi dari WI untuk memberikan yang terbaik bagi peserta diklat. Dalam hal praktikum bisa dengan saling membantu, peserta diklat membawa peralatan praktikum sedangkan Balai Diklat menyiapkan bahan-bahan praktikum. Sedangkan dalam hal metode pembelajaran, WI menyajikan dalam bentuk metode kontekstual (Contextual Teaching and Learning/ CTL)). Dalam pembelajaran kontekstual terdapat 7 (tujuh) prinsip, yaitu: (1) constructism, (2) inquiry, (3) questioning, (4) learning community, (5) modeling, (6) reflection, dan (7) authentic assessment. Dilihat dari prinsip-prinsip tersebut, memungkinkan terjadinya proses internalisasi nilai-nilai sikap ilmiah pada peserta diklat yang nantinya akan diberikan pada siswa di madrasah.
Key Word: kontekstual, CTL, kimia
Pendahuluan
Proses pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh dua pihak yang keduanya berperan sebagai subyek, yakni anak didik/ peserta diklat sebagai pembelajar dan guru, dosen/ widyaiswara (WI) sebagai pengajar. Pembelajar melakukan kegiatan belajar sedangkan pengajar melakukan kegiatan mengajar. Kata “belajar” dan “mengajar” bermakna aktif, artinya subyek yang melekat pada kedua kata tersebut sama-sama melakukan aktivitas berupa aktivitas fisik maupun mental. Dengan demikian proses pembelajaran akan berjalan secara baik apabila arah proses yang terjadi berjalan secara dua arah, tidak satu arah.
Dari sekian banyak definisi pembelajaran atau learning, ada dua definisi yang patut saya kutip: (1) ”A relatively permanen change in response potentiality which occurs as a result of reinforced practice” dan (2) “a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the process of growth”. Dari dua definisi ini ada tiga prinsip yang layak diperhatikan. Pertama, belajar menghasilkan perubahan perilaku anak didik yang relatif permanen. Artinya, peran penggiat pendidikan, khususnya guru dan dosen adalah sebagai pelaku perubahan (agen of change).
Kedua, anak didik memiliki potensi, gandrung, dan kemampuan yang merupakan benih kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Maknanya pendidikan seyogyanya menyirami benih kodrati ini hingga tumbuh subur dan berbuah. Proses belajar-mengajar, dengan demikian, adalah optimalisasi potensi diri sehingga dicapailah kualitas yang ideal, apabila tidak dikatakan sempurna, dan relatif permanen.
Ketiga, perubahan atau pencapaian kualitas ideal itu tidak tumbuh alami linear sejalan proses kehidupan. Artinya, proses belajar-mengajar memang merupakan bagian dari kehidupan itu sendiri, tetapi ia didesain secara khusus, dan diniati demi tercapainya kondisi atau kualitas ideal seperti disebut di atas.
Konstruktivisme berpandangan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteksnya dan tidak serta merta didapat secara tiba-tiba. Berbeda dengan Rasulullah yang mendapat pengetahuan secara langsung dari Malaikat Jibril. Beliau langsung menjadi manusia yang pandai. Akan tetapi untuk mempertahankan pengetahuan beliau, tetap saja diperlukan pengecekan oleh Malaikat Jibril secara priodik. Hal ini diperlukan untuk mengkonstruksi pengetahuan beliau dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan demikian belajar dimaknai sebagi proses membangun gagasan baru secara terus-menerus atau memodifikasi gagasan lama dalam struktur kognitif yang senantiasa disempurnakan. Belajar tidak hanya menggali informasi atau mengkaji materi pelajaran, namun harus mampu menciptakan perilaku ilmiah dengan senantiasa menggunakan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Kondisi inilah yang dimaksud komunitas belajar (learning community) dalam pendekatan kontekstual. Dengan demikian aktivitas belajar meliputi membaca, menyimak, menemukan, dan mendiskusikan, semuanya berada pada kerangka kegiatan ilmiah yang di dalamnya terdapat kegiatan memecahkan masalah. Ratna W. Dahar berpendapat bahwa prinsip yang paling esensial dari teori konstruktivisme ialah anak-anak memperoleh banyak pengetahuan di luar sekolah dan pendidikan seharusnya memperhatikan itu untuk menunjang proses alamiah.
Guru-guru IPA, khususnya guru kimia harus mempunyai sikap ilmiah, jangan sampai dalam memberikan pelajaran kimia, lebih banyak dengan menggunakan metode ceramah dan mengerjakan soal-soal saja. Hal ini sangat jauh dari jiwa sikap ilmiah yang diharapkan. Strategi pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai alternatif untuk proses internalisasi sikap ilmiah adalah pembelajaran yang didalamnya mengakomodasikan keterlibatan siswa secara fisik maupun mental. Pembelajaran yang dimaksud adalah ”Contextual Teaching and Learning (CTL)’’, karena di dalam CTL ini siswa diberi kesempatan untuk membangun pengetahuannya sendiri atau membangun gagasan-gagasan baru dan memperbaharui gagasan lama yang sudah ada pada struktur kognitifnya. Di samping itu, siswa juga diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan sendiri pengetahuannya, melakukan observasi dan memecahkan masalah secara bersam-sama dalam kerangka kegiatan ilmiah, dan siswa juga diberi kesempatan untuk melakukan abstraksi atau suatu proses pemaknaan kehidupan sehari-hari yang dirujukkan dengan teori atau contoh-contoh yang ada. Dengan melalui serangkaian kegiatan tersebut diharapkan nilai-nilai ilmiah akan dengan mudah terinternalisasikan pada diri siswa.
CTL menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber ddan pandangan. Disamping itu, telah diidentifikasikan enam unsur kunci CTL, seperti berikut ini (University of Wasshington, 2001)
(1) Pembelajaran bermakna: pemahaman, relevansi dan penghargaan pribadi siswa bahwa ia berkepentingan terhadap konten yang harus dipelajari. Pembelajaran dipersepsi sebagai relevan denan hidup mereka;
(2) Penerapan pengetahuan: kemampuan untuk melihat bagaimana-apa yang dipelajari.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Balai Diklat Keagamaan (BDK) yang berjumlah 12 (dua belas) di seluruh Indonesia hanya sedikit yang mempunyai laboratorium kimia, kalaupun ada masih kalah lengkap dengan laboratorium yang ada di Aliyah, apalagi jika dibandingkan Perguruan Tinggi. BDK Surabaya sendiri belum mempunyai laboratorium kimia. Kalaupun ada alat-alat kimianya, itu jauh dari yang dibutuhkan. Disinilah letak dari kreatifitas Widyaiswara diharapkan muncul. Walaupun situasi kelihatannya tidak memungkinkan untuk melaksanakan praktek kimia, tapi pembelajaran kontekstual masih memungkinkan untuk dilaksanakan.
Bagi BDK yang belum mempunyai laboratorium kimia tapi mengharuskan adanya praktikum kimia, bisa dengan cara seperti yang sudah dilaksanakan oleh BDK Surabaya. Pada surat panggilan peserta dilampirkan alat-alat kimia yang harus dibawa oleh peserta diklat, sedangkan bahan-bahan kimia disiapkan oleh BDK. Dengan demikian biaya yang dikeluarkan oleh BDK tidak terlalu besar. Contoh dari alat-alat praktikum kimia yang bisa dibawa oleh peserta adalah sebagai berikut.
LAMPIRAN
Alat-alat kimia yang perlu dibawa oleh peserta Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia Madrasah Aliyah adalah sebagai berikut :
NO JENIS ALAT & BAHAN JUMLAH
1 Lumpang porselen dan Alu 1 set
2 Pelat tetes 1
3 Pipet tetes 3
4 Erlemeyer 250 Ml 1
5 Botol bekas kreatingdaeng atau sejenisnya 2
6 Sumbat gabus sebesar mulut botol kreatingdaeng atau Erlenmeyer 2
7 Pelubang sumbat gabus (gunting kecil/ obeng/ lainnya) 1
8 Tissue gelondong/ lembaran Secukupnya
9 Tabung reaksi 2
10 Sikat tabung reaksi 1
11 Baterai besar yang masih hidup 2
12 Baterai bekas kecil/ besar 1
13 Gelas ukur 100 mL 1
14 Termometer 1
Catatan :
• Bahan-bahan kimia dan beberapa alat praktikum disediakan Balai Diklat Keagamaan Surabaya
• Alat praktikum yang dibawa peserta disesuaikan dengan praktikum yang sudah direncanakan dan akan dilaksanakan dalam pelatihan di BDK.
Dalam tulisan ini akan diuraikan, apa yang dimaksud dengan CTL dan bagaimana CTL diaplikasikan pada diklat Guru Mata Pelajaran Kimia Aliyah. Diharapkan tulisan ini akan memberikan wawasan dan membuka pikiran para Widyaiswara IPA, khususnya WI kimia untuk senantiasa berinovasi dan bereksperimen menggunakan metode-metode alternatif dalam mengajarkan kimia di Balai Diklat Keagamaan di seluruh Indonesia.
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Pembelajaran kontektual (Contextual Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa menghubungkan pengetahuan yang dimilikinya dengan persoalan hidup sehari-hari. Dengan konsep ini, diharapkan pembelajaran yang terjadi akan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. John A. Zahorik memberikan pengertian tentang pembelajaran kontektual sebagai berikut : ”Knowledge is constructed by humans. Knowledge is not a set of fact, concepts, or laws waiting to be discovered. It is not something that exists independent of a knower. Human create or construct knowledge as they ettempt to bring meaning to their experience. Everything that we know, we have made.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), penemuan (inquiry), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya (authentic assessment). Sebuah proses dikatakan menggunakan pendekatan CTL apabila tgelah menerapkan beberapa komponen tersebut. Depdiknas memberikan batasan tentang prinsip-prinsip CTL tersebut.
Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme (Constructivism) merupakan landasan berpikir pendekatan CTL, yakni pengetahuan dibangun oleh siswa sedikit demi sedikit dan hasilnya diperluas melalui konteksnya. Siswa harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dengan demikian pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan ”menerima” pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivime berbeda dengan pandangan pengamat objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Strategi ”memperoleh” lebih diutamakan dibanding seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pengalaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Menurut Piaget, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda atau berbentuk jaringan mental dari konsep-konsep yang berkait dan akan mempengaruhi pemahaman ketika konsep baru diterima. Jaringan tersebut skemata. Pengalaman yang sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengetahuan) dalam otak manusia tersebut. Struktur pengetahuan dikembangkan dalam otak manusia melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi bermakna pengetahuan baru dibuat atau dibangun atas dasar pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi bermakna struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menampung dan menyesuaikan hadirnya pengetahuan baru.
Pembelajaran pada diklat guru kimia memungkinkan untuk diajarkan dengan menggunakan prinsip konstruktivisme, karena ketika peserta diklat memahami dan mendalami konsep-konsep tentang kimia dapat dimulai dari pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta diklat.
Penemuan (Inquiry)
Penemuan (Inquiry) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil menemukan sendiri. Widyaiswara harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya. Ada lima siklus inquiry, yaitu (1) observasi, (2) bertanya(questioning), (3) mengajukan dugaan (hipotesis), (4) pengumpulan data (data gathering), dan (5) penyimpulan (conclussion).
Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang bermula dari bertanya. Bertanya merupakan strategi utama pembelajaran berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan WI untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir peserta. Bagi peserta siklat, kegaiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan strategi inquiry, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasi apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
Dalam penerapannya di diklat, bertanya dapat diterapkan, antara peserta dengan peserta, antara peserta dengan WI, antara WI dengan peserta, dan antara peserta dengan orang lain (outsourching) atau pada saat observasi lapangan (OL). Aktivitas bertanya ditemukan ketika peserta berdiskusi, bekerja dalam kelompok, ketika menemui kesulitan, mengamati dan sebagainya. Kegiatan tersebut akan menumbuhkan dorongan untuk ”bertanya”.
Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar memakai sepatu, ia bertanya kepada ibunya ”Ma, tolong pakaikan sepatu !” Ibunya membantu menggunakan sepatu dengan cara membuka tali sepatu, mengendurkan tali sepatu, memasangkan ke kaki, mengencangkan ikat sepatu. Dengan demikian anak dan ibu tersebut telah membentuk masyarakat belajar.
Hasil belajar di BDK diperoleh dari ”sharing” antara peserta satu dengan yang lain, antara peserta dengan WI, antara kelompok, antara yang tahu dengan yang belum tahu. Prosesnya bisa terjadi di kelas, di luar kelas selama masa kediklatan di BDK, dan dengan guru-guru di tempat observasi lapangan.
Dalam kelas CTL, WI disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Peserta dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen. Yang kelihatan pandai mengajari yang kurang, yang tahu memberi tahu yang belum tahu, yang cepat mendorong yang lambat, dan yang berinisiatif memberikan gagasannya. Kelompok diusahakan bisa diubah variasinya, baik jumlah maupun keanggotaannya.
Masyarakat belajar dapat terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah dan tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi. ”Widyaiswara yang terlalu berperilaku mengajari peserta” kurang mencerminkan masyarakat belajar, karena komunikasi yang terjadi hanya satu arah dan WI menjadi sangat dominan. Setiap anggota masyarakat belajar harus merasa bahwa setiap orang memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan berbeda yang harus dipelajari atau ditampilkan. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan.
Pemodelan (Modelling)
Komponen CTL berikutnya adalah pemodelan (modelling). Dalam proses pembelajaran yang dimaksud dengan pemodelan adalah suatu bentuk pengetahuan atau keterampilan dengan memberi model yang dapat ditiru atau cara melakukan sesuatu. WI memberi contoh cara membuka kulit baterai, mengambil karbon di dalam baterai dengan tang/ catut dan mengeluarkannya. Model tidak harus selalu WI, bisa peserta yang dijadikan model. Misalnya salah satu peserta dalam kelompoknya tampil di depan kelas.
Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Peserta diberi kesempatan untuk ”mengendapkan” apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan lama. Dengan demikian peserta merasa telah memperoleh pengetahuan baru yang berguna bagi dirinya.
Penilaian Sebenarnya (Authentic Assesment)
Authentic Assesment adalah adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan peserta. Gambaran perkembangan belajar peserta perlu diketahui oleh WI agar bisa memastikan bahwa peserta mengalami proses pembelajaran dengan benar. Apabila data yang diperoleh menunjukkan bahwa peserta mengalami kesulitan belajar, maka secepatnya WI mengambil tindakan yang tepat untuk mengatasinya. Assesment tidak harus selalu di akhir proses pembelajaran, tetapi dilakukan bersama-sama secara integral dalam proses pembelajaran. Kemajuan peserta dinilai dari proses, tidak hanya dari hasil. Pembelajaran yang benar seharusnya ditekankan pada upaya membantu peserta bagaimana seharusnya belajar (learning how to learn), bukan ditekankan pada bagaimana sebanyak mungkin informasi dapat diperoleh di akhir pelajaran. Data dapat diperoleh dari pre test, post test, micro teaching, dan yang terpenting adalah WI harus dapat melihat gambaran kemajuan peserta secara langsung di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian autentik mengajak para peserta untuk menggunakan pengetahuan akademik dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna.
KONTEKSTUAL PADA PEMBELAJARAN KIMIA
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yaitu Fisika, Kimia, dan Biologi konsepnya diperoleh dari hasil pengamatan dan penelitian ilmiah. Hal ini lebih mudah untuk mengaplikasikan kontekstual dalam proses pembelajaran dibanding mata pelajaran rumpun lain. Namun hal ini terkadang sulit untuk dilaksanakan karena beberapa faktor, seperti kurangnya inovasi dan motivasi dari Widyaiswara, alat dan bahan praktikum yang diperlukan, dan dukungan dana dari BDK. Ketiga faktor di atas harus ada untuk bisa melaksanakan kontekstual pada pelajaran IPA di BDK.
Contoh 1
Rencana Pembelajaran Berbasis CTL
Nama Diklat : Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia MA
Mata Diklat : Pendalaman Materi
Materi Pokok : Reaksi Redoks
Sub Materi Pokok : Penyetaraan Reaksi Redoks
Alokasi Waktu : 2 x 45 menit
Kompetensi Dasar : Peserta Diklat dapat menyelesaikan penyetaraan reaksi redoks
Langkah Pembelajaran :
1. Pendahuluan (Awal)
1. Sebagai kegiatan pembuka Widyaiswara(WI) mengajukan pertanyaan kepada peserta: ”Apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks? Apakah kejadian sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks?
2. Dengan instruksi dari WI, peserta diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 3 orang (jumlah peserta diklat perkelas di BDK sebanyak 30 orang).
2. Kegiatan Inti
1. WI menjelaskan bahwa penyetaraan reaksi dapat diselesaikan dengan dua metode, yaitu cara ½ reaksi dan cara bilangan oksidasi. WI menulis dua contoh reaksi redoks, satu soal dalam suasana asam dan satunya dalam suasana basa :
a) MnO4¯(aq)+ H2C2O4 (aq) → Mn2+ (aq) + CO2 (g) (suasana asam)
b) HPO3¯(aq) + BrO¯(aq) → PO43- + Br2 (aq) (suasana basa)
2. Dengan bimbingan WI, peserta diberi kesempatan untuk menyelesaikan contoh soal di atas dalam kelompoknya dengan cara ½ reaksi dan cara bilangan oksidasi. Setelah selesai, WI mempersilakan dua perwakilan kelompok yang paling cepat untuk mengerjakan di papan tulis. Satu perwakilan mengerjakan point a), dan satunya point b).
3. WI memberikan kesempatan pada kelompok lain untuk memberikan masukan dan akhirnya memberikan pemantapan pada jawaban yang paling tepat.
4. WI beserta peserta memberikan aplaus pada jawaban yang benar.
5. WI memberikan kartu soal yang berisi tiga soal reaksi redoks untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi dikumpulkan ke WI.
6. WI meminta kelompok yang jawabannya kurang tepat untuk mengerjakan di papan tulis. Hal ini bertujuan agar diskusi kelas dapat berkembang.
7. Peserta lain diberi kesempatan untuk mengoreksi dan memberikan masukan. WI memberikan pemantapan dan memberikan aplaus bersama-sama.
3. Penutup
Bersama peserta, WI merefleksikan kegiatan yang telah dilakukan dan membuat kesimpulan dalam menyelesaikan penyetaraan redoks.
Jika dicermati rencana pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip CTL dapat dilihat dari kegiatan sebagai berikut : (1) Proses Inquiry muncul pada saat peserta mengidentifikasi kejadian atau peristiwa sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks; menemukan cara menyelesaikan soal penyetaraan reaksi redoks dengan lebih mudah, (2) Questioning muncul ketika WI membimbing peserta dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan reaksi redoks” dan ” apakah kejadian sehari-hari yang melibatkan reaksi redoks”, serta bertanya dalam diskusi dengan teman kelompoknya, (3) Learning community terjadi pada saat kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar peserta dalam kelompok dan dalam diskusi kelas, (4) Authentic assesment dilakukan ketika peserta berdiskusi, menyelesaikan soal di papan tulis, membetulkan jawaban yang salah dan lembaran jawaban yang dikumpulkan, (5) Constructivism terjadi bila dari semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan memperdalam konsep penyetaraan reaksi redoks dengan cara membangun sendiri pengetahuan barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta, (6) Refleksi merupakan akhir dari kegiatan pembelajaran.
Contoh 2
Rencana Pembelajaran Berbasis CTL
Nama Diklat : Diklat Guru Mata Pelajaran Kimia MA
Mata Diklat : Pendalaman Materi
Materi Pokok : Reaksi Redoks
Sub Materi Pokok : Reaksi elektrolisis
Alokasi Waktu : 3 x 45 menit
Kompetensi Dasar : Peserta Diklat dapat melakukan praktikum penyepuhan
Langkah Pembelajaran :
1. Pendahuluan (Awal)
1. Sebagai kegiatan pembuka Widyaiswara(WI) mengajukan pertanyaan kepada peserta: ”Apakah yang dimaksud dengan reaksi elektrolisis? Apakah kegunaan dari penyepuhan? Apakah ada diantara bapak/ibu yang pernah melakukan penyepuhan emas, tembaga, atau logam lainnya?
2. Dengan instruksi dari WI, peserta diminta membentuk 10 kelompok, masing-masing kelompok berjumlah 3 orang (jumlah anggota kelompok praktikum dibuat sedikit agar aktivitas peserta lebih intens).
2. Kegiatan Inti
1. Dengan bimbingan WI, peserta diminta untuk menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan untuk praktek penyepuhan tembaga dan emas di atas meja masing-masing.
2. WI menjelaskan ”penyepuhan tembaga akan dilakukan oleh semua kelompok, sedangkan penyepuhan emas karena harga emas yang sangat mahal, maka cukup didemonstrasikan di depan kelas oleh salah satu kelompok. Cara penyepuhannya sama dengan penyepuhan tembaga”.
3. WI membagikan lembar kerja praktikum dan menjelaskan cara kerja penyepuhan tembaga. Peserta diminta untuk menyimak, mencatat, dan bertanya.”lempeng tembaga tipis kita potong kecil-kecil, lalu kita timbang seberat 0,2 gram. Taruh di cawan porselen, tambahkan air raja sedikit dan panaskan di atas api yang kecil. Tunggu hingga semua tembaga habis larut dan menjadi serbuk. Jika masih ada tembaga kecil-kecil, tambahkan lagi air raja sedikit hingga semua tembaga larut. Jangan menambah air raja berlebihan karena akan mengurangi keindahan hasil serbuk tembaga. Panaskan 300 gram air dalam beker gelas sampai suhu sekitar 500C lalu masukkan KCN atau NaCN (sebagai katalis). Masukkan sedikit air hangat tersebut ke cawan porselen yang berisi serbuk tembaga tadi hingga semua serbuk tembaga larut, kemudian masukkan kembali ke dalam beker gelas. Larutan tembaga tersebut siap digunakan untuk proses penyepuhan. Tahap ini merupakan tahap terakhir. Pertahankan suhu larutan sekitar 500C. Hidupkan trafo dan atur tegangan 10-12 volt DC. Ikat benda yang akan dilapisi tembaga ke kabel tembaga yang terhubung ke kutub negatif trafo dan celupkan ke dalam larutan tembaga selama 3 sampai 15 detik, tergantung besar kecilnya benda. Angkat benda tadi. Kutub positif bisa digunakan lempeng tembaga yang cukup besar atau kalau tidak ada, bisa digunakan sendok stainless steel. Untuk sepuh emas kutub positif sebaiknya digunakan lempeng platina(Pt), namun kalau tidak ada juga bisa digunakan sendok stainless steel.
4. Setelah semua peserta paham prosedur kerja praktikum penyepuhan, dengan bimbingan WI semua kelompok dipersilakan untuk melaksanakan praktikum sendiri-sendiri.
5. Setelah selesai praktikum, masing-masing kelompok mengumpulkan lembar kerja praktikum.
6. Dengan bimbingan WI salah satu kelompok diminta mempresentasikan lembar kerja hasil praktikumnya dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dialami selama praktikum.
7. Dengan bimbingan WI, kelompok lain diminta memberikan masukan.
8. WI beserta peserta memberikan aplaus pada kelompok yang mau tampil presentasi.
9. Kelompok yang mau tampil diberi penghargaan untuk mendemonstrasikan proses penyepuhan emas dibimbing oleh WI. Peserta mengamati, mencatat dan bertanya.
3. Penutup
WI merefleksikan seluruh kegiatan dan membuat kesimpulan dari penyepuhan tembaga dan emas.
Jika dicermati rencana pembelajaran yang ditempuh di atas, maka beberapa prinsip CTL dapat dilihat dari kegiatan sebagai berikut : (1) Proses Inquiry muncul pada saat peserta mengidentifikasi kegunaan penyepuhan dalam kehidupan sehari-hari; menemukan perbedaan konsep penyepuhan di buku teks sekolah dengan praktikum sebenarnya; belajar mengambil kesimpulan dari data praktikum, (2) Questioning muncul ketika WI membimbing peserta dengan pertanyaan ”apakah yang dimaksud dengan reaksi elektrolisis” dan ” apakah kegunaan dari penyepuhan”, bertanya tentang prosedur kerja yang belum jelas dan dalam diskusi dengan teman kelompoknya, (3) Learning community terjadi pada saat kerja kelompok, saling bertanya dan berdiskusi antar peserta dalam kelompok dan dalam diskusi kelas, (4) Authentic assesment dilakukan ketika peserta berdiskusi, presentasi, dan lembaran kerja praktikum yang dikumpulkan, (5) Dari semua langkah tersebut peserta diberi kesempatan untuk membangun dan memperdalam konsep penyepuhan dengan cara membangun sendiri pengetahuan barunya berbasis pada pengetahuan atau pengalaman yang sudah dimiliki peserta, itulah makna constructivism, kemudian pembelajaran diakhiri dengan refleksi.
Penutup
Proses pembelajaran berbasis CTL tidak hanya sekedar memberi peran yang lebih besar kepada peserta diklat sebagai pelaku pembelajaran(apalagi diklat, pembelajarannya diharuskan memakai metode andragogi bukan paedagogi). Lebih dari itu, CTL seharusnya dapat menghasilkan pembelajaran yang berbentuk kecakapan hidup(life skill). Beberapa kecakapan hidup yang dimaksud berupa kecakapan sosial (sosial skill), kecakapan kerjasama dan kecakapan leadership. Kecakapan ini dibangun pada saat peserta berdiskusi dalam kelompok, melaksanakan praktikum bersama-sama, berkomunikasi lisan maupun tulisan. Kecakapan ini dibangun ketika peserta mempresentasikan hasil diskusi/ praktikum dan membuat hasil diskusi/ lembar kerja praktikum dalam bentuk tulisan.
Pembelajaran berbasis CTL juga dapat menumbuhkembangkan self awaraness peserta. Pada waktu mengerjakan soal yang dirasakan rumit, ternyata teman lain dapat mengerjakan lebih mudah. Konsep elektrolisis di buku ternyata tidak semudah atau berbeda jika dilakukan praktikum sebenarnya. Hal ini akan terbentuk kesadaran diri (self awareness) bahwa peserta masih perlu belajar lagi serta perlunya praktikum untuk mempermudah pemahaman dan pendalaman suatu konsep. Dampak lain dari pembelajaran berbasis CTL adalah terbentuknya kecakapan self regulation. Kecakapan ini terbentuk ketika peserta berdiskusi dengan temannya. Pada saat diskusi, peserta dilatihkan bagaimana cara mengendalikan emosi, cara menghargai pendapat orang lain, dan cara mengambil keputusan bersama.
Life skill dalam bentuk kecakapan berpikir rasional (thinking skill) juga terlatihkan pada proses pembelajaran berbasis CTL. Thinking skill ini terlatihkan ketika siswa melakukan proses inquiry. Pada proses ini dilatih untuk melakukan identifikasi, mengumpulkan data, mengolah data, dan belajar mengambil kesimpulan dari data yang ada. Kemampuan memberikan argumen saat berdiskusi dan mengambil kesimpulan secara tidak sengaja terlatihkan dari proses CTL. Life skill tersebut diperoleh peserta bukan dari dampak praktikum saja, melainkan dampak proses pembelajaran berbasis CTL.
Daftar Pustaka
Arief Zainul, ”Pendalaman Materi Kimia MA”, Makalah disampaikan pada ”Diklat Guru Mapel Kimia MA”, BDK Surabaya, 2007.
Anton J. Hartomo & Tomijiro Kaneko, Mengenal Pelapisan Logam (Elektroplating), Andi Offset, Yogyakarta
Departemen Pendidikan Nasional. Pendekatan Kontektual (Contextual Teaching and Learning, CTL), Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, 2002.
Indrawan Satoto Pamungkas, Menjadi Pengusaha elektroplating Chrome, CV.Andi Offset, Yogyakarta, 2007
Johnson, Elaine B. Contextual Teaching and Learning. Penerjemah Ibnu setiawan, Bandung: MLC, 2007
John A.Zahorik, Constructivist Teaching, Indiana: Phi-Delta Kappa Education Foundation, 2002.
Ratna Willis Dahar, Teori-teori Belajar, Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1998.
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, Prestasi Pustaka, 2007.
Rabu, 10 Desember 2008
Program Pemberdayaan Guru (PPG)
PPG adalah Program yang dibuat oleh beberapa Widyaiswara BDK Sby yg
dikoodinir oleh Z.Arief,S.Pd,MH untuk memberikan pelatihan bagi
guru-guru yg ingin dibina tentang berbagai hal yg berhub.dg pengembangan
sekolah/madrasah, pembelajaran di kelas, managemen sekolah maupun
kelas. PPG adalah program yg tdk berhub atau tdk terikat oleh kebijakan
dan tanggungjawab BDK Sby. PPG didirikan agar guru-guru lebih bebas dan
mudah dalam mengadakan pelatihan, workshop, seminar, pendampingan PTK,
dll.
Jika anda berminat dg program kami, silakan hubungi kami. Arief, alamat: Ketintang Madya 92 Surabaya, Telp.031-70068527; 081331073327
Jika anda berminat dg program kami, silakan hubungi kami. Arief, alamat: Ketintang Madya 92 Surabaya, Telp.031-70068527; 081331073327
Berlatih Membaca Cepat dan Efektif
Oleh: Z. Arief, S.Pd, MH
Pendahuluan
Theodore Roosecevelt membaca tiga buku dalam sehari selama di Gedung Putih, John F. Kennedy mempunyai kecepatan membaca 1.000 kpm (kata per menit). Sementara Jimmy Carter, Indira Gandhi, Marshal Mc. Luthan, dan Burt Lancaster hanyalah sedikit dari nama-nama terkenal yang mengakui manfaat membaca cepat bagi kemajuan karier mereka.
Kecepatan membaca orang-orang besar di atas memang sudah bakat mereka dan tanpa melalui pelatihan khusus. Namun kita pun dapat mencapai kecepatan seperti mereka melalui pelatihan khusus maupun latihan sendiri dengan mempelajari dan melatih menerapkan teknik-teknik membaca cepat dan efektif.
Norman Lewis dalam bukunya How to Read Beeter and Faster mengemukakan fakta yang terdapat di beberapa kursus Speed Reading (membaca cepat) di Amerika: (1) Di Reading Clinic, Dartmouth College, peserta kursus pada umumnya mempunyai kecepatan membaca 230 kpm, dan pada pertengahan kursus telah mencapai 500 kpm, (2) University of Florida yang mengelola kursus membaca cepat dengan peserta beragam seperti guru, wartawan, pengacara, ibu rumah tangga, melaporkan bahwa kecepatan rata-rata peserta berawal 115-210 kpm dan dalam dua minggu telah mencapai 325 kpm, (3) Di Purdue University, kecepatan rata-rata naik dari 245 kpm menjadi 470 kpm. Sementara Harry Shefter dari New York University dalam bukunya Faster Reading Selftaught mengatakan bahwa pada umumnya orang dapat mencapai kecepatan membaca 350-500 kpm.
Pada artikel ini akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan membaca cepat, pelatihan singkat membaca cepat dan efektif, dan bagaimana mengukur Kemampuan Efektif Membaca (KEM) atau Effective Reading Rate (ERR).
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat kita semakin tergoda untuk selalu berusaha mengetahui hal-hal yang belum kita ketahui. Berbagai informasi di era high tech ini semakin mudah diterima karena canggihnya media informasi, baik media cetak (Koran, majalah, jurnal, dsb) maupun media elektronik (TV, internet, media player, dll).
Hasil-hasil penelitian dan kemajuan sains dan teknologi begitu cepat muncul dan disebarluaskan. Satu judul buku tentang suatu masalah yang menjadi perhatian kita belum sampai separuhnya kita baca, telah disusul judul baru. Baru saja kita memesannya, telah disodorkan judul baru oleh penulis lain dan penerbit lain. Setiap hari bagaikan berpacu penerbit mengumumkan terbitan barunya.
Seorang professional seperti guru, dosen. Widyaiswara dan siapapun yang sangat membutuhkan informasi yang banyak tidak lagi bisa menampung informasi yang mereka butuhkan untuk disimpan semuanya di dalam otak mereka. Lalu dibuatlah piranti untuk menyimpan informasi tersebut di dalam dokumen elektronik seperti disket, flasdisk, cd, hard disk maupun berupa dokumen kertas. Tujuannya adalah untuk bisa dibaca jika ada waktu senggang atau diperlukan sewaktu-waktu. Hal ini disebabkan waktu yang kita miliki tetap 24 jam, tidak terus bertambah seperti informasi yang setiap harinya bertambah. Faktor lain yang membuat kita lambat untuk menyerap informasi yang kita butuhkan salah satunya adalah kecepatan membaca kita yang masih perlu ditingkatkan.
Untuk berpacu dengan ledakan informasi abad ini diperlukan piranti khusus, yaitu system membaca cepat dan efektif. Teknik-teknik yang tepat perlu dikuasai untuk cepat menyerap informasi dan gagasan baru yang setiap hari membanjiri media cetak dan elektronik.
Membaca merupakan suatu proses dinamis untuk merekonstruksi suatu pesan yang secara grafis dikehendaki oleh peneliti (Goodman, 1996). Sedangkan menurut Soedarso (2001: 4) mengatakan bahwa: “Membaca adalah aktivitas yang kompleks dengan mengerahkan sejumlah besar tindakan yang terpisah-pisah. Meliputi: orang harus menggunakan pengertian dan khayalan, mengamati, dan mengingat-ingat. Kita tidak dapat membaca tapa menggerakkan mata atau tapa menggunakan pikiran kita. Pemahaman dan kecepatan membaca menjadi amat tergantung pada kecakapan dalam menjalankan setiap organ tubuh yan diperlukan untuk itu”.
Dalam perkembangan studi membaca, dikenal tiga pAndangan tentang proses membaca. PAndangan pertama, biasa disebut dengan pAndangan kuno. PAndangan ini menganggap membaca sebagai proses pengenalan symbol-simbol bunyi yang tercetak (Harris dalam Olson, 1982). PAndangan kedua, membaca sebagai suatu proses pengenalan symbol-simbol bunyi yang tercetak dan diikuti oleh pemahaman makna yang tersurat (Carrol dalam Olson, 1982). PAndangan ketiga, disebut pAndangan modern, membaca bukan sekedar pemahaman dan pengenalan symbol tercetak saja, tetapi lebih jauh, yaitu sebagai proses pengolahan secara kritis.
Satu kunci awal sebelum sukses membaca cepat, kata Soedarso, penulis buku Speed
Reading (Sistem Membaca Cepat dan Efektif), adalah bahwa kita harus membaca sesuai dengan tujuan awal kita. Umumnya, tujuan kita membaca adalah untuk memperoleh informasi atau sekadar bersantai. Kita tidak boleh diperbudak oleh apa yang tercetak dengan membaca semua kata yang ada. Kita harus berani menjadi tuan dan bacaan itulah yang menjadi budak kita, bukan sebaliknya.
Oleh karena itu, kata dia, semua orang harus berani membuat prioritas membaca. Jangan asal membaca, karena waktu kita terbatas. Kategorisasi akhirnya mutlak dilakukan. Artinya, kita harus menetapkan, apa yang dapat menambah informasi, meningkatkan studi, karier dan pekerjaan. Kita juga harus menetapkan, apa yang tidak menarik dan tidak berguna bagi diri kita ataupun tugas kita.
Mengenai cara membaca dikenal empat macam, yaitu: regular (biasa), melihat dengan cepat (skimming), mengilas (scanning), dan kecepatan tinggi (warp speed). Pertama, cara membaca regular (biasa). Cara membaca ini relative lambat karena kita membaca baris demi baris yang biasa dilakukAndalam bacaan ringan. Kedua, cara membaca melihat dengan cepat (skimming). Jika Anda tidak membutuhkan fakta-fakta dan detailnya, maka lompati fakta dan detail itu dan pusatkan perhatian untuk cepat menguasai ide pokoknya. Cara membaca yang hanya untuk mendapatkan ide pokoknya ini disebut skimming (Soedarso, 2001:84). Ketiga, cara membaca sekilas (scanning). Jika Anda membutuhkan suatu fakta tertentu saja, atau informasi tertentu saja, atau data satistik tertentu saja. Teknik melompat (skipping) untuk langsug ke sasaran yang kita cari itu disebut scanning.
Kemampuan membaca cepat seseorang harus dibarengi dengan kemampuan memahami isi bacaan. Seseorang dapat dikatakan memahami isi bacaan secarabaik apabila ia dapat (a) mengenal kata-kata atau kalimat yang ada dalam bacaan atau mengetahui maknanya, (b) menghubungkan makna, baik konotatif maupun denotative yang dimiliki dengan makna yang terdapat dalam bacaan, (c) mengetahui seluruh makna tersebut atau persepsinya terhadap makna itu secara kontekstual., dan (d) membuat pertimbangan nilai bacaan yang didasarkan pada pengalamnnya.
Kemampuan membaca cepat seseorang bisa ditingkatkan. Pada saat mulai belajar membaca di sekolah dasar dipelajari huruf-hurufnya, lalu menghubungkan huruf menjadi kata, selanjutnya menjadi kalimat tanpa mengeja huruf demi huruf. Hanya saja, menurut DePorter dan Hernacki (1992), sebagian dari kita tidak pernah mengalami kemajuan lagi setelah tahap ini. Untuk itu, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menyingkirkan mitos yang berbunyi: (1) membaca itu sulit, (2) tidak boleh menggunakan jari ketika membaca, (3) membaca harus dilakukan dengan mengeja kata per kata, dan (4) harus membaca perlahan-lahan supaya dapat memahami isinya.
Untuk mencapai tujuan pembelajaran membaca cepat diperlukan sebuah usaha guru, salah satunya penyediaan media pembelajaran. Media pembelajaran dalam artikel ini adalah media pembelajaran membaca cepat dalam rangka meningkatkan kemampuan membaca cepat siswa. Media tersebut berupa model transparasi membaca cepat.
PENGERTIAN MEMBACA CEPAT
Membaca cepat adalah keterampilan membaca sekilas dengan mengkondisikan otak bekerja lebih cepat sehingga konsentrasi akan lebih membaik secara otomatis (Hernowo (Ed.), 2003). Membaca cepat adalah perpaduan kemampuan motorik (gerakan mata) atau kemampuan visual dengan kemampuan kognitif seseorang dalam membaca. Membaca cepat merupakan perpaduan antara kecepatan membaca dengan pemahaman isi bacaan. Kecepatan membaca seseorang harus seiring dengan kecepatan memahami bahan bacaan yang telah dibaca (Imron Rosidi, 2007).
Ketika kita membaca cepat suatu bacaan, tujuan sebenarnya bukan untuk mencari kata dan gambar secepat mungkin, namun untuk meidentifikansi dan memahami makna dari bacaan tersebut seefisien mugkin dan kemudian mentransfer informasi ini ke dalam memori jangka panjang dalam otak kita. Kemampuan membaca cepat merupakan keteramplan memilih isi bacaan yang harus dibaca sesuai dengan tujuan, yang ada relevansinya dengan pebaca tanpa membuang-buang waktu untuk menekuni bagian-bagian lain yang tidak diperlukan (Soedarso, 2001). Dalam membaca cepat terkandung di dalamnya pemahaman yang cepat pula. Pemahaman inilah yang diprioritaskan dalam kegiatan membaca cepat, bukan kecepatannya.
Ingatlah bahwa kecepatan membaca dan pemahaman bukanlah dua unsur yang terpisah dalam proses membaca. Keduanya justru merupakan satu kesatuan. Kecepatan membaca jelas mengacu pada kecepatan memahami bacaan. Pemahaman – ini agak membingungkan – mengacu tidak hanya pada seluruh proses membaca, melainkan juga secara khusus pada kualitas pemahaman bacaan (Gordon Wainwright, 2006).
Kecepatan membaca seseorang tinggi tidak berarti kualitas pemahaman juga tinggi sebaliknya kecepatan membaca yang rendah tidak serta merta menghasilkan pemahaman yang lebih baik. Namun juga kecepatan membaca yang tinggi tidak secara otomatis melahirkan pemahaman yang lebih buruk. Semua itu perlu diteliti apakah seseorang sudah mempunyai keterampilan membaca yang cepat dan efektif. Artinya kecepatan membaca yang tinggi seharusnya juga menghasilkan pemahaman yang tinggi pula. Diperlukan latihan yang kontinyu untuk bisa mendapatkan keterampilan tersebut.
CARA MENGUKUR KECEPATAN MEMBACA YANG EFEKTIF
Sebagian orang karena tingkat kecerdasannya hanya mampu membaca 125 kpm (kata per menit). Pada umumnya, orang membaca jauh lebih lambat daripada kemampuannya. Orang dewasa di Amerika yang belum pernah mendapat latihan khusus kecepatanya atara 200-500 kpm, beberapa orang sampai 325-350 kpm, dan beberapa orang yang lain terlalu lambat, yaitu 125-175 kpm. Orang dewasa di Indonesia, berdasarkan kursus-kursus yang diadakan, keadaannya seperti di Amerika, yaitu 175-300 kpm. Akan tetapi, pada pertengahan kursus (minggu kedua), pada umumnya dapat dinaikkan menjadi 350-500 kpm. Semua itu dengan pemahaman 70 persen (Soedarso, 2001).
1) Rumus Untuk Mengukur Kecepatan Membaca
“Berapa kecepatan membaca Anda?” Untuk menghitungnya, gunakan rumus dasar ini:
Andaikan Anda membaca 1.000 kata dalam 3 menit dan 20 detik atau 3x60+20 = 200 detik, maka kecepatan membaca Anda:
Untuk menghitung jumlah kata dalam bacaan yang and abaca, hitung jumlah kata dalam lima baris dahulu lalu bagi lima. Hasilnya merupakan jumlah rata-rata per baris dari bacaan itu. Lalu hitung jumlah baris yang and abaca dan kalikan dengan jumlah rat-rata tadi, hasilnya merupakan jumlah kata yang and baca.
Misalnya:
Jumlah kata per baris rata-rata = 11
Jumlah baris yang Anda baca = 60
Jumlah kata yang Anda baca = 11 x 60 = 660 kata
Jika Anda membaca dalam 2 menit dan 10 detik, atau total 130 detik, maka kecepatan membaca Anda: (660 kata/ 130 detik) x 60 = 342 kata per menit.
Rumus dari Soedarso (2001: 14) di atas tidak memasukkan aspek pemahaman secara langsung pada rumus hitungan, tetapi hasil hitungan kecepatan membaca sudah dianggap pemahaman 70% atau lebih. Jika pemahaman kurang dari 70% maka peserta kursus masih perlu melakukan latihan lagi.
2) Rumus Untuk Mengukur Kecepatan Membaca yang Efektif
Untuk mengukur kemampuan membaca cepat siswa, ada dua aspek yang perlu diukur, yaitu aspek kecepatan membaca dan aspek pemahaman. Untuk menghitung kecepatan membaca yang efektif dengan memasukkan aspek pemahaman langsung di dalam rumus, bisa menggunakan dua rumus berikut ini:
a. Effective Reading Rate (ERR)/ Kecepatan Membaca yang Efektif (KME). Yang dimaksud dengan KME bukanlah kecepatan saat Anda membaca secara efektif, melainkan kecepatan saat Anda secara efektif membaca; perhatikan perbedaannya. Perhitungannya sebagai berikut:
Kecepatan membaca (kata per menit) x % Skor pertanyaan
Contoh: 250 x 70% = 175 = Kecepatan Membaca yang Efektif
Banyak orang menganggap angka ini lebih bisa diAndalkan sebagai indicator kemajuan yang nyata dibandingkan dua hsil yang terpisah, yaitu kecepatan membaca saja dan pemahaman saja. Agar bisa meningkatkan KME, umumnya satu dari tiga hal berikut harus terjadi. Yang pertama, kecepatan membaca meningkat, pemahaman tetap. Kedua, pemahaman meningkat, kecepatan tetap, dan yang ketiga keduanya mengalami peningkatan (Gordon Wainwright, 2006: 42). % Skor pertanyaan bisa Anda ubah minimal 60% tetapi ingat kecepatan membaca yang tinggi tanpa diimbangi pemahaman yang baik, hasilnya juga kurang baik bagi Anda. Penulis menyarankan 70% adalah skor ideal bagi pemahaman Anda.
b. Kecepatan Efektif Membaca (KEM). Aspek kecepatan membaca dapat diukur dengan menghitung jumlah kata dalam bacaan yang dibaca dibagi selisih antara waktu akhir baca dengan awal baca (lamanya membaca), sedangkan pemahaman dihitung dengan membagi skor yang diperoleh dengan skor maksimal yang bisa didapat. Hasil perkalian antara kecepatan membaca dengan pemahaman menghasilkan kecepatan efektif membaca (KEM). Secara konkret, rumus kecepatan efektif membaca (KEM) adalah sebagai berikut:
Keterangan:
K : jumlah kata yang dibaca B : Skor yang diperoleh siswa
Wm : waktu baca dalam satuan menit Si : Skor ideal atau skor maksimal
Wd : waktu baca dalam satuan detik
MEDIA BERLATIH MEMBACA CEPAT DAN EFEKTIF
Media pembelajaran membaca cepat dalam rangka mencapai subkompetensi membaca cepat yang diamanatkan kurikulum 2004 terbagi atas dua jenis, yaitu (1) media pembelajaran membaca cepat untuk pelatihan awal, dan (2) media pembelajaran membaca cepat untuk pengukuran. Kedua media ini memerlukan alat bantu pengukur waktu, berupa jam tangan atau dinding dan lebih baik apabila menggunakan stopwatch.
1) Media Pelatihan Awal
Media pembelajaran membaca cepat yang digunakan untuk pelatihan awal memiliki berbagai variasi. Variasi media pelatihan membaca cepat ini bertujuan untuk (1) melatih gerak mata siswa, (2) melatih konsentrasi, (3) melatih persepsi siswa, dan (4) melatih daya ingat. Keempat variasi media pelatihan awal ini disampaikan kepada siswa sebelum dilakukan pengukuran membaca cepat secara utuh.
Banyak sekali ragam media pelatihan awal yang bisa dibuat oleh guru. Guru bisa membuat variasi sendiri untuk mencapai keempat tujuan di atas. Dalam artikel ini akan disajikan beberapa media untuk pelatihan awal. Media pelatihan awal digunakan dalam rangka pemanasan sebelum menuju pelatihan untuk pengukuran membaca cepat dan efektif.
Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih gerak mata memiliki tiga variasi. Media pertama berupa tiga lingkaran kecil dalam satu garis horizontal yang memiliki jarak yang berbeda dalam setiap barisnya. Siswa perlu melihat lingkaran kecil tersebut secara cepat tanpa menggerakkan kepala. Media kedua lebih ditingkatkan lagi gerak/ lompatan mata siswa. Latihan ini berguna untuk membiasakan mata bergerak (melompat) dari satu fiksasi ke fiksasi berikutnya secara berirama dan dengan jangkauan mata yang melebar. Letak lingkaran kecil yang menjadi pedoman titik-titik fiksasi sedikit berubah sebagaimana biasanya mata bergerak. Lakukan latihan dengan cara sebagai berikut:
1. Fokuskan pandangan ke lingkaran yang berisi angka-angka, dan usahakan jangkauan mata Anda menangkap sampai ke pinggir garis.
2. Rasakan tarikan untuk melebarkan jangkauan mata itu dan rasakan juga gerakan/ lompatan dari satu fiksasi ke fiksasi berikutnya.
3. Lakukan latihan ini dengan seksama hingga Anda benar-benar merasakan gerakan otot-otot mata itu yang bergerak, dengan tarikan-tarikan kecil, dan dengan pola tertentu. Setelah itu percepat gerakannya dari satu fiksasi ke fiksasi berikutnya tanpa merasakan gerak-gerak otot itu.
Variasi media gerak mata yang ketiga berupa urutan angka maupun abjad yang diacak dalam sebuah kotak (persegi panjang) dan angka 1 – 50. Siswa perlu menarik secepat mungkin garis yang menghubungkan huruf atau angka yang ada secara berurutan dengan cepat dan dicatat waktu tempuhnya. Bentuk media ini bisa dilihat pada lampiran 1.
Media pelatihan awal membaca cepat yang bertujuan untuk melatih konsentrasi pada artikel ini ada tiga macam dari mudah hingga cukup sulit yang membutuhkan konsentrasi lebih. Kurangnya daya konsentrasi pada tiap orang disebabkan oleh hal-hal yang berbeda. Ada orang yang memerlukan tempat yang tenang untuk dapat membaca, sementara orang lain perlu ditemani suara radio. Kurangnya konsentrasi dapat juga disebabkan oleh kurangnya minat perhatian terhadap apa yang dibaca, karena tidak menarik, terlalu sulit atau terlalu mudah, atau memang membosankan. Dapat juga disebabkan memang orang itu belum siap membaca, misalnya karena badan terlalu lelah, atau secara emosional tidak memungkinkan untuk membaca karena sulit keuangan atau mendapat kesusahan. Singkatnya ada sesuatu yang membuat pikirannya menjadi kusut sehingga perhatiannya pecah.
Untuk meningkatkan daya konsentrasi ada dua kegiatan penting, yaitu (1) menghilangkan atau menjauhi hal-hal yang menyebabkan pikiran menjadi kusut dan (2) memusatkan perhatian secara sungguh-sungguh. Hal ini termasuk memilih tempat dan waktu yang sesuai dengan dirinya, serta memilih bahan bacaan yang menarik. Teknik-teknik membaca seperti survey bahan bacaan sebelum memulai membaca, dan menentukan tujuan membaca, termasuk cara-cara untuk berkonsentrasi. (Soedarso, 2001:50).
Media pertama (A) latihan konsentrasi berupa urutan gambar yang disusun secara vertikal dengan jumlah yang berbeda. Tanpa menggunakan jari, siswa menghitung jumlah gambar dengan durasi waktu tidak lebih dari 30 detik dan menuliskan pada lingkaran yang tersedia. Media kedua dan ketiga penulis ambil dari pelatihan dari Chung Moo Il dari Korea Institution of Reading Dynamic, yaitu dengan (1) menelusuri “benang kusut”, terutama untuk para siswa TK dan SD, dan (2) menghitung titik-titik yang berderetan, yang ternyata juga sulit kita lakukan (lampiran 2). Untuk latihan menelusuri “benang kusut”, caranya adalah sebagai berikut:
B. Telusuri dari ujung awal hingga pada ujung akhir.
C. Temukan tiap-tiap ujung benang berikut ini;
1. Berakhir di ujung …
2. Berakhir di ujung …
3. Berakhir di ujung …
4. Berakhir di ujung …
Media pelatihan awal lainnya bertujuan untuk melatih persepsi Anda. Latihan persepsi ini juga untuk meningkatkan konsentrasi, dengan memaksa Anda untuk menghadapi bahan dengan kepentingan yang mendesak (sense of urgency), mengerahkan energy, mendobrak untuk tidak vokalisasi (mengucapkan kata), menghilangkan kebiasaan membaca dengan bibir, dan merangsang Anda untuk bereaksi dengan cepat. Media latihan persepsi pada artikel ini ada dua macam, dengan memakai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Caranya sebagai berikut:
1. Bidik kata kuncinya dengan cepat dan segera temukan (scan) dua kata kembarnya di kanan (A) dan satu kata kembarnya (B). Langsung coret.
2. Sebelum menyelesaikan sampai 25 nomor jangan berhenti untuk mencocokkan. Teruskan sampai selesai dulu.
3. Setelah selesai, hitung nilai Anda. Target Anda adalah 20 nomor benar dalam waktu 20 detik.
Media latihan persepsi ini ada pada lampiran 3.
Media pelatihan awal yang terakhir adalah melatih daya ingat. Proses mengingat dan belajar terutama terdiri dari melihat dan mendengar informasi yang masuk ke otak melalui melihat (termasuk membaca) dan mendengar (kuliah, ceramah). Bisa juga dengan melakukan suatu pekerjaan (to do) khususnya bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), seperti merangkai alat praktikum, menjelaskan langkah-langkah praktikum, menjelaskan hasil praktikum. Dalam hal ini, daya ingat kita akan lebih lama jika kita langsung mempraktekkan, tidak hanya dengan membaca/ melihat saja.
Media awal untuk melatih daya ingat berupa keping mata uang Rp. 100,- dan Rp.500,- serta uang kertas lembaran Rp.1000,-. Anda bisa melatih lagi dengan nilai mata uang yang lebih besar lagi. Ambil pensil/ bolpoint dan buatlah coretan sketsa dan tulisan serta angka yang mestinya tertera pada setiap muka keeping atau lembaran uang itu. Jangan menjiplak, tetapi seingat Anda saja. Beri waktu awal 30 detik untuk mata uang Rp.100,-, 20 detik untuk mata uang Rp.500,- dan 10 detik untuk mata uang Rp.1000,-. Prinsipnya waktu semakin cepat untuk setiap latihan tetapi juga perlu diperhatikan dengan hasil yang dicapai, yaitu kelengkapan dari gambar, tulisan, dan angka.
2) Media Pelatihan Untuk Pengukuran
Sebelum mulai melakukan pelatihan dengan media pelatihan awal dan media untuk pengukuran, sebaiknya ukur dulu kecepatan membaca dan ingatan pasca baca Anda. Mengukur kemampuan Anda sebelum dan sesudah melakukan pelatihan amat penting. Dengan mengukur kecepatan membaca dan mengingat langsung apa yang baru Anda baca, akan diketahui berapa kecepatan membaca efektif Anda dan adakah peningkatan signifikan setelah melakukan pelatihan berulang-ulang selama beberapa periode. Untuk meningkatkan kecepatan membaca efektif Anda tidak mungkin hanya dengan melakukan pelatihan sekali duakali dalam kurun waktu yang lama, tetapi perlu dilakukan setiap hari dengan cara sering membaca apapun informasi yang ada di hadapan Anda.
Media untuk mengukur kemampuan kecepatan membaca cepat tentunya berupa sebuah bacaan, baik teks, gambar, grafik, tabel, dan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pemahaman Anda. Bacaan dapat diambil dari berbagai media informasi, baik media elektronik maupun non elektronik.
Menurut Soedarso (2001:103) langkah-langkah untuk membaca grafik, tabel, diagram, dan peta dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Baca judulnya. Langkah pertama ini merupakan langkah penting. Resapkan isi judul grafik, table, diagram atau peta yang Anda hadapi itu, karena judul ini member Anda ringkasan yang padat tentang informasi yang akan disampaikan.
2. Baca informasi yang ada di atas, di bawah, atau di sisinya. Informasi yang ada merupakan kata kunci penjelasan tentang materi yang disajikan, dapat berupa urutan tahun, persentase, dan angka-angka.
3. Ajukan pertanyaan tentang tujuan grafik, peta, table, atau diagram tersebut. Anda dapat mengetahui tujuan itu dengan mengubah judul itu menjadi pertanyaan: dimana, seberapa banyak, atau bagaimana terjadi. Dan jawabannya ada pada grafik, table, diagram, atau peta tersebut.
4. Baca grafik, tabel, diagram, atau peta itu. Sementara membacanya secara menyeluruh, tetaplah ingat akan maksud dan tujuannya, dan dapatkan keterangannya dalam iformasi yang disajikan di sana.
Karena keterbatasan halaman dalam artikel ini, maka penulis hanya akan menyajikan media berupa bacaan teks (lampiran 4). Sebenarnya Anda bisa meningkatkan kecepatan membaca hingga 20%-30% hanya dengan mencoba melakukannya, tanpa bantuan teknik baru yang manapun. Biasakan diri Anda untuk bersaing dengan diri sendiri. Berusahalah untuk “selalu menjadi yang terbaik bagi diri sendiri”. Selamat berlatih.
PENUTUP
Francis Bacon dalam esainya “Of Studies” (Gordon Wainwrigth, 2006:126) menulis: Beberapa Buku untuk diKecap, yang lain untuk diTelan, dan sebagian untuk diKunyah dan diCerna: maksudnya, beberapa Buku hanya perlu dibaca sebagian; yang lain dibaca namun tanpa rasa Ingin Tahu; dan sebagian dibaca menyeluruh dan dengan Ketekunan dan Perhatian. Beberapa Buku mungkin juga dibaca oleh Wakil, dan inti sarinya dibuat oleh Orang Lain.
Mudah-mudahan dengan latihan yang kontinyu dan sungguh-sungguh Anda bisa mencapai kecepatan membaca seperti orang-orang besar dan terkenal seperti pada pendahuluan di atas, minimal kecepatan membaca seperti orang pada umumnya yaitu sekitar 350-500 kpm. Sedangkan bagi pelajar Menengah Atas sesuai dengan kurikulum 2004 diharapkan dapat mempunyai kecepatan membaca sekitar 230-250 kpm.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Bahasa Indonesia, SMK. Jakarta: Depdiknas.
DePorter, Bobbi dan Hernacki, Mike.1992.Quantum Learning Learninng: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman.2001. Bandung: Kaifa.
Hernowo (Ed). 2003. Quantum Reading. Bandung: MLC.
Rosidi, Imron. 2007. Berlatih Membaca Cepat. Makalah disajikan dalam Pelatihan Membaca Cepat di Pondok Sidogiri, Pasuruan. 16 Maret 2007
Soedarso. 2001. Speed Reading. Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: PT Gramedia.
Wainwright, Gordon. Speed Reading Better Recalling. Terjemahan oleh Heru Sutrisno. 2006. Jakarta: PT Gramedia.
Lampiran 1
MEDIA PELATIHAN AWAL
(1) Melatih Gerak Mata
A. _____________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________________
B. Mulai baca pukul ……………. (jam, menit, detik)
Selesai baca pukul ……… (jam, menit, detik). Waktu baca …… detik
C. Mulai baca pukul ……………. (jam, menit, detik)
Selesai baca pukul ……… (jam, menit, detik). Waktu baca ……… detik.
Lampiran 2
A. Latihan konsentrasi I
Waktu baca total: ……………….. detik
B. Latihan Konsentrasi II
C. Latihan Konsentrasi III
Lampiran 3
A. Latihan Persepsi I: Temukan 2 (Dua) Kata Kembarnya
1. mawar mapan memar mawar nawar mawar rawan
2. bunga bumi bunga bangga bunyi bunga bunda
3. jiwa jiwa jiwa jika juga jiji jawi
4. nasi nasi nakal naas nangka nahwu nasi
5. rumor rusak rumor rumah rusa rumor rusun
6. bangku baca basah bangau bangku bangga bangku
7. buku bunda bubuk buku bulu burket buku
8. benar benar tenar senar besar lebar benar
9. bintik rintik bintik antik bintil bibik bintik
10. rajin janji ranjang rasa jinjing rajin rajin
11. jalang jalang julang alang lalang jalang palang
12. prangko pangkas perang prangko kakao jangkau prangko
13. terang kerang terang terang kemang jurang kurang
14. kipas kapas kikis kilat ampas kipas amplas kipas
15. zigzag jigsaw sigsag zigzag sisak zagzig zigzag
16. korban koran kurang serban korban Koran korban
17. rontok montok rontok antok ronda gontok rontok
18. rumit tumit runyam rumit amit runyam rumit
19. sapu sandal garpu sapu ampuh sapudi sapu
20. jenjang ranjang jinjing jenjang anjang kejang jenjang
21. cakep cakep asep cakap rangkep cakep cantik
22. juri jujur juri juni juhri juhari juri
23. rumah rusak kemah rumah rumahan murahan rumah
24. kaleng kalengan kolong lengan kaleng karang kaleng
25. gula gulai gila gula guling gulali gula
B. Latihan Persepsi II: Temukan 1 (Satu) Kata Kembarnya
1. foreign forever foreigner forget family foreign
2. actually actual naturally actually usually
3. brush brusher broom bus brush break
4. favorit famous farmer father falling favorit
5. book butter briker bround book brown
6. speed speedy spirit spear speak speed
7. forward backward onward toward forward blood
8. hang hand hard hold hang hanger his
9. chocolate camera corner craker chocolate costum
10. source sauce shook simple shopping source
11. zoo zoom zebra zenith zone zoo
12. lovely love long lobster lovely lamp
13. skillful skin beautifull colorfull skillful
14. special spook separate search special spring
15. rope ring rocker response record rope rip
16. cool cold came cerry crem cool calm
17. occasion ocean old occur orientation occasion
18. lake like look laughing lake looked
19. better brilliant breath because better boom
20. accident acid accidentally anticipate accuse accident
21. desire desire arise desiring retire relative
22. crazy easy cream crazy lazy mazy
23. beautiful powerfull beauty usefull beautiful
24. response responsible responsive repose response restart
25. nourish nouse nuclear touris nourish noutice
Lampiran 4
Media Pengukuran Membaca Cepat dan Efektif
Misteri Besar Mesin Kasir
Hobson’s bukanlah toko yang ramai dikunjungi pelanggan, namun aktivitas jual-beliya stabil. Pendapat toko cukup membuat kehidupan Mr dan Mrs. Hobson nyaman dan bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi tiga penjaga took paruh waktu. KEuarga Hobson membeli took kecil itu ketika Mr Hobson mengambil hak pension lebih awal dari perusahaan akuntansi tempatnya mengabdikan diri selama hamper tiga puluh tahun.
Ketiga penjaga toko adalah gadis-gadis yang menyenangkan. Mereka popular di kalangan masyarakat setempat yang sering mampir ke took untuk membeli barang-barang yang lupa mereka beli di supermarket atau barang-barang yang sudah habis dipakai dan mereka tidak mau bersusah payah berkendara ke tempat perbelanjaan di luar kota. Yang tertua, Jane (19), sudah menikah dan dikaruniai seorang bayi. Saat sang ibu bekerja di took, bayinya diasuh oleh sang nenek. Susan (17) agak gemuk, belum menikah, dan hanya sesekali punya pacar. Gina(16) baru lulus sekolah menengah, langsing, sangat cantik, dan teman prianya sagat banyak. Anda pasti kesulitan menghitungnya.
Kehidupan di took itu berjalan biasa saja, sampai pada suatu hari Mrs. Hobson yang sedang menghitung pendapatan hari itu, menemukan selisih jumlah uang yang diterima. Kekurangannya tidak besar, £1,20. Namun hal itu membuat Mrs. Hobson yang teliti itu kesal sehingga ia melaporkan pada sang suami. Mr. Hobson mengecek hitungan istrinya dan hitungan mesin kasir, ia pun sampai pada kesimpulan yang sama. Kurang £ 1,20.
Pasti banyak orang yang sangat senang jika mereka hanya kekurangan uang sebesar itu hari itu, namun latar belakang Mr. Hobson sebagai pekerja di bidang akutansi membuatnya tidak bisa bersikap masa bodoh.. Mereka harus memastikan kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi.
Namun hal itu terjadi lagi. Minggu berikutnya pada hari yang sama, kamis, pendapatan mereka kurang £ 1,20 lagi. Mereka mengecek, kemudian mengecek ulang, namun hasilnya tetap sama.
Pada kejadian pertama, Mr dan Mrs. Hobson tidak memberitahukan kejadian tersebut kepada ketiga gadis penjaga took. Namun, kali ini mereka menanyai ketiga gadis itu, apakah mungkin mereka tanpa sengaja memberikan uang kembalian lebih banyak daripada yang seharusnya. Ketiga gadis itu yakin mereka tidak melakkan kesalahan tersebut. Misteri terus berlanjut.
Minggu berikutnya, pendapatan mereka kurang £ 1,20 pada hari selasa dan juga Kamis. Minggu depannya mereka lagi-lagi kehilangan £ 1,20 pada hari selasa dan kamis. Mereka harus melakukan sesuatu.
Mr. Hobson punya teman yang bekerja sebagai teknisi televise. Ketika Mr. Hobson menceritakan masalah ini kejadiannya, sang teman memasang sebuah kamera pengintai untuk mengamati mesi kasir. Setelah menonton rekamnnya, mereka tidak menemukan jawaban atas uang-uang yang hilang itu.
Misteri tersebut terkuak secara tidak sengaja. Saat Susan sedang menelpon pelanggan mengenai pesanannya, laci uang mesin kasir macet. Apa pun yang ia lakukan, laci tersebut tidak bisa ditutup. Ketika Mr. Hobson membongkar laci uang tersebut, ia menemukan uang receh yang selama ini hilang. Tampaknya menjepit per laci itu tertarik. Ketika laci ditutup, per itu melontarkan koin ke belakang laci.
Namun, tidak seorang pun bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi secara teratur dan selalu dalam jumlah yang sama.
(478 kata).
Hentikan hitungan waktu Anda, lalu catat. Sekarang jawablah pertanyaan berikut tanpa membaca ulang bacaan tadi.
Pertanyaan
1. Apa pekerjaan Mr. Hobson sebelum pension?
2. Siapa nama gadis yang berbadan gemuk?
3. Toko apa yang dikelola Mr dan Mrs. Hobson?
4. Berapa jumlah uang yang kurang dalam setiap kejadian?
5. Seperti apa kehidupan di took itu?
6. Apa pekerjaan teman Mr. Hobson?
7. Dengan cara apa mereka mengamati laci uang mesin kasir?
8. Di mana uang yang hilang tersebut ditemukan?
9. Apa yang menyebabkan uang tersebut hilang?
10. Siapa yang menemukan uang yang hilang tersebut?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar