Oleh-oleh dari sebuah perjalanan tidak perlu berupa jajanan atau suvenir saja. Oleh-oleh dalam bentuk cerita berdasarkan pengalaman berpergian juga menjadi makanan pikiran yang menyenangkan. Baru-baru ini, Prof. Dr. Muchlas Samani melakukan kunjungan ke Belanda untuk melihat dan mengukuhkan kerja sama S2. Berikut ini catatan perjalanan Muchlas Samani. (syt)
Senin, 18 Februari 2013
CREDIT EARNING DAN DOUBLE DEGREE
Kunjungan saya ke Utrecht University dan Groningen University kali ini relatif agak longgar. Saya sempat mengamati aktivitas mahasiswa di luar kelas, laboratorium dan perpustakaan. Misalnya saat di kantin dan di beberapa lokasi mereka duduk-duduk. Saya mencoba
membanding-bandingkan dengan ingatan saya ketika mengunjungi beberapa kampus, baik di dalam maupun di luar negeri.
Di
Utrecht dan Groningen, banyak mahasiswa yang membaca buku teks atau
mengerjakan tugas di berbagai sudut kampus. Diskusi kecil juga
terjadi di kantin dan tempat lain. Saya sempat melirik apa yang dibaca
mahasiswa dari laptop. Kebetulan dia sedang makan sandwich di dekat
saya di kantin. Waduh dengan bahasa Belanda. Namun dari tampilan, saya
dapat menduga mahasiswa tersebut sedang membaca journal online.
Saya
jadi teringat diskusi saya dengan mahasiswa S3 yang mengikuti program
sandwich-like di Ohio State University tahun 2010. Saat itu diskusi
sangat gayeng, karena sebagian besar dari mereka adalah dosen yang
sedang menempuh S3 di beberapa universitas di Indonesia. Ketika saya
bertanya: "Apa yang membedakan perkuliahan yang Anda ikuti di Indonesia
dan yang Anda lihat di sini?" Jawabannya hampir seragam, iklim
akademiknya yang berbeda.
"Memang
sarana perpustakaan di sini lebih bagus, tetapi itu masih dapat dicari
lewat internet". "Namun iklim akademik yang benar-benar membuat
kami harus belajar". "Jika kami tidak membaca, membuat resume dan
berdiskusi justru menjadi aneh di sini". "Ketika kuliah mahasiswa di
sini selalu mengajukan pertanyaan dengan mengacu bacaan mereka dari
buku atau jurnal". "Situasi perkuliahan di sini mirip ajang diskusi
untuk membandingkan hasil bacaan".
Pak
Martadi, rekan di Unesa pernah mengajukan metaphora, "beras disosoh
menjadi putih bukan karena kena alu, tetapi karena gesekan satu dengan
yang lain". Berarti, mahasiswa menjadi pandai bukan karena diajar oleh
dosen, tetapi lebih karena interaksi sesama mahasiswa. Fungsi dosen
hanya memicu agar mereka berdiskusi dan berinteraksi secara akademik.
Mirip, fungsi alu ketika menyosoh beras, hanyalah membuat butiran beras
bergesek satu dengan lainnya.
Harus
diakui tidak mudah membangun iklim akademik. Utrecht University,
Groningen University, Ohio State University dan beberapa perguruan
tinggi tenama yang berusia tua dan sudah menjadi research university
mungkin sudah berhasil membangun iklim akademik tersebut. Namun bagi
perguruan tinggi baru atau yang masih berkutat dalam pengajaran
(teaching university) tentu tidak mudah untuk mengembangkannya.
Sementara iklim akademik tampak mendesak untuk mendongkrak mutu
lulusan.
Oleh
karena itu, sambil secara bertahap mendorong perguruan tinggi
membangun iklim akademik, harus diciptakan cara agar mahasiswa di
perguruan tinggi "biasa" mendapat kesempatan mengikuti perkuliahan di
perguruan tinggi yang sudah memilii iklim akademik bagus. Itulah yang
saya maksud dengan program credit earning (perolehan kredit) bahkan
jika mungkin dengan double degree (gelar ganda) atau joint degree (gelar
tunggal diberikan oleh dua perguruan tinggi).
Pada
program credit earning mahasiswa "Universitas X" dapat mengambil
matakuliah di Universitas Y" dan kreditnya diakui. Artinya kredit yang
diperoleh dari Universitas Y diakui sebagai kredit di Universtas X.
Jika perlu di transkrip disebut, diambil di Universitas Y. Tentu
matakuliah tersebut yang tercantum di kurikulum pada universitas asal
dan silabusnya juga hampir sama. Dengan cara itu, mahasiswa
universitas biasa dapat merasakan bagaimana kuliah di universitas
bagus dan mudah-mudahan kebiasaan itu terus dilakukan saat kembali di
universitas asal.
Credit earning
tidak harus dengan universitas di luar negeri. Dapat saja mahasiswa
Unesa mengambil matakuliah di UI atau ITB. Manfaat lain dari credit
earning, khususnya bagi jenjang S2/S3, mahasiswa dapat memperoleh
kuliah atau bertemu dosen "hebat" yang cocok dengan rancangan
tesis/disertasi yang sedang disusun. Saya punya pengalaman mengisi
matakuliah penunjang disertasi (MKPD) dari beberapa universitas. Yang
diperlukan adalah kesediaan kedua belah pihak dan untuk itu kebijakan
dan dorongan Kemdikbud sangat diperlukan.
Untuk
program double degree, Unesa sudah memiliki yaitu dengan Curtin
University di Australia untuk S2 Pendidikan Matematika dan Pendidikan
Sains. Saat ini sedang dirintis untuk S2 Pendidikan Bahasa dengan
Northern Illinois University. Program S2 Internasional untuk
Pendidikan Matematika kerjasama dengan Utrecht University juga segera
ditingkatkan menjadi double degree.
Pada
double degree, sebagian matakuliah diambil di "Universitas X",
sebagian diambil di "Universitas Y" sebagai partnernya. Setelah lulus
mahasiswa mendapatkan dua ijasah, baik Universitas X maupun Universitas
Y. Jadi mendapatkan dua ijasah dan otomatis mendapatlan dua gelar.
Program ini relatif lebih "mudah" dibanding dengan joint degree,
karena birokrasi perguruan tinggi yang tidak mudah membuat satu ijasah
dengan dua tanda tangan rektor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar